Terbaru

Kebijakan Subsidi BBM

Subsidi BBM telah menjadi bagian penting dari sejarah | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Pekanbaru

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Pekanbaru

Kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dikenal sebagai bentuk intervensi pemerintah pada retail price atau harga jual BBM melalui penetapan harga jual di bawah keekonomisan jual. Di Indonesia, subsidi BBM telah menjadi bagian penting dari sejarah panjang kebijakan energi dalam negeri. Subsidi BBM di Indonesia telah diperkenalkan untuk pertama kalinya sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto di era 1970-an, dengan tujuan untuk mendukung rakyat miskin dalam menjangkau BBM murah.

beberapa fakta mengenai subsidi BBM dan pengaruhnya terhadap pembangunan Indonesia. Penetapan harga jual di bawah yang seharusnya telah memacu terjadinya economic inefficiency (tidak efisiennya ekonomi). Harga jual BBM di bawah harga ekonomis mengirimkan sinyal yang keliru dalam pasar Indonesia. Harga jual BBM bersubsidi yang rendah memacu masyarakat untuk mengonsumsi sumber energi fosil secara berlebihan. Padahal, sumber energi fosil yang terus berkurang jumlahnya seharusnya dapat dikonsumsi secara bijak

Sejak saat itu, setiap tahun pemerintah Indonesia harus mengalokasikan subsidi berjumlah besar dalam anggaran belanja negara untuk disalurkan ke perusahaan, PT Pertamina, yang mendistribusikan BBM bersubsidi ke masyarakat. Pertanyaan yang muncul terkait isu usulan pengurangan subsidi BBM di awal 2017 adalah apakah subsidi BBM merupakan kebijakan energi yang tepat bagi Indonesia?

Tidak mengherankan jika konsumsi energi fosil di Indonesia terus meningkat secara signifikan di kian harinya. Berdasarkan laporan International Energy Agency dalam Energy Supply Security 2014, kebutuhan Indonesia akan minyak mentah impor adalah sebesar 32% dari total kebutuhan domestik pada 2013, dan meningkat menjadi 40% pada 2015. Sementara kebutuhan bensin impor dalam negeri adalah sebesar 63% pada 2013 dan diproyeksikan meningkat hingga 77% pada 2017.

Maka tidaklah mengherankan, jika kebijakan subsidi BBM paling sering ditemukan di kalangan negara-negara berkembang, baik negara yang memiliki cadangan minyak yang besar, sedang, kecil, atau tidak sama sekali. Sebaliknya negara-negara maju, baik yang memiliki cadangan minyak besar hingga yang tidak sama sekali, justeru menetapkan pajak pada penjualan BBM bagi masyarakat. Pajak menjadi alat yang digunakan oleh pemerintah negara-negara maju dalam mengontrol konsumsi BBM dalam negeri.

Dalam tulisannya yang berjudul Phasing out energy subsidies in Indonesia, Mourougane (2010) menegaskan bahwa perilaku konsumsi BBM secara berlebihan di Indonesia akan memicu meningkatnya konsumsi BBM impor, mengurangi kuota ekspor BBM, yang pada akhirnya akan mengancam ketahanan energi Nasional.

Beban fiskal akibat subsidi dipengaruhi oleh faktor-faktor fluktuatif seperti nilai tukar mata uang, harga minyak dunia, dan kebijakan reformasi subsidi. Selain itu, beban fiskal juga dipengaruhi oleh faktor yang terus mengalami peningkatan, yaitu laju konsumsi BBM. Oleh karena laju konsumsi BBM yang secara drastis meningkat tiap tahunnya, dengan asumsi faktor fluktuatif yang konstan, maka kebijakan subsidi BBM dapat diprediksi akan terus meningkatkan beban fiskal.

Pada 2015, dibandingkan Indonesia dengan produksi minyak 936,000 barrel per hari (populasi 255.708.785 jiwa), Norwegia dengan produksi minyak sebesar 1.959.000 barrel per hari (populasi 5.142.842) (IEA 2015) menetapkan pajak tinggi pada penjualan BBM. Pajak tersebut dimasukkan dalam National Petroleoum Fund yang digunakan secara sistematis untuk investasi-investasi berkelanjutan demi membangun perekonomian negara yang stabil.

Pada 2008, ketika harga minyak dunia meningkat drastis, anggaran subsidi BBM mencapai 22% dari anggaran belanja negara. Di sisi lain, anggaran yang cukup besar untuk subsidi adalah kesempatan yang hilang bagi negara untuk berinvestasi di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur fisik seperti sarana transportasi, penyediaan listrik, dan sebagainya.

Dalam dunia akademik, mengeluarkan kebijakan yang disenangi masyarakat luas (popular policy) yang pada akhirnya mampu menaikkan jumlah voting dan mempertahankan posisi politik dikenal dengan istilah rent seeking. Di Indonesia, kebijakan subsidi BBM pada harga jual bensin, solar, gas, dan minyak tanah dianggap sebagai sebuah mekanisme rent seeking yang dijalankan oleh pemerintahan terdahulu. Fenomena ini dapat dilihat dari mampu bertahannya kekuatan politik Presiden Soeharto dalam 32 tahun lamanya.

Merujuk pada latar belakang inisiasi subsidi untuk mendukung perekonomian rakyat miskin dengan penyediaan BBM murah, pada kenyataannya BBM bersubsidi lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat ekonomi menengah ke atas. Dalam tulisannya berjudul Reducing fuel subsidies and the implication on fiscal balance and poverty in Indonesia, Dartanto (2013) menjelaskan bahwa dari 1998 sampai 2013, subsidi BBM yang mencapai 63.8% dari total subsidi Nasional dinikmati sebesar 72% oleh 30% masyarakat paling kaya di Indonesia. Fenomena tersebut dipengaruhi oleh kenyataan bahwa terdapat kesenjangan yang terlampau besar antara masyarakat miskin dan kaya dalam hal konsumsi energi, atau dengan kata lain semakin membaik kondisi ekonomi seorang individu maka semakin besar porsi energi yang dikonsumsi.

Dalam tulisannya berjudul The political economy of energy transitions and thermal energy poverty Comparing the residential LPG sectors in Indonesia and South Africa, Kruger (2016) berpendapat bahwa dalam 32 tahun kepresidenan Presiden Soeharto, subsidi BBM telah menjadi bagian dari strategi pemerintahan untuk menjaga dan mempertahankan kekuasaan politiknya. Hingga krisis ekonomi Asia pada 1997 menerjang Indonesia, keterdesakan untuk mengurangi subsidi mulai terpikirkan oleh pemerintah kala itu. Maka pada Mei 1998, Presiden Soeharto meningkatkan harga jual minyak tanah 25%, solar 60%, dan bensin 70% (Beaton dan Lontoh, 2010).

Terkait produksi minyak Indonesia yang cenderung cukup tinggi di akhir abad 20, subsidi BBM masih dianggap masuk akal. Namun, sejak terus menurunnya produksi minyak Nasional, di sisi lain terus meningkatnya konsumsi BBM dalam negeri, kebijakan subsidi BBM sudah sepatutnya dipertanyakan. Sejak 2004, Indonesia telah resmi menjadi negara net oil importer atau negara yang murni impor minyak yang berakibat pada dibekukannya keanggotan Indonesia dalam organisasi negara-negara ekspor minyak (OPEC) pada 2009. Lainnya, dengan terus menurunnya produksi minyak Indonesia, maka terus menurun pula oil rent atau pendapatan negara dari pengusahaan minyak.

Kenaikan harga tersebut kemudian menjadi pemicu demonstrasi besar di Indonesia, yang berakhir dengan jatuhnya Presiden Soeharto. Dalam review Indonesia Economic Quarterly: 2008 again? yang diterbitkan oleh World Bank (2012) mencatat bahwa reformasi subsidi BBM 1998 menjadi pelajaran bagi para presiden Indonesia selanjutnya agar dapat melakukan reformasi subsidi secara lebih hati-hati demi menjaga kekuasaan politik. Subsidi BBM adalah penyakit yang merambat dan begitu sulit untuk dilepaskan sekali telah diterapkan sebagai kebijakan Nasional.

Setelah memahami beberapa fakta dari subsidi BBM dan implikasinya terhadap pembangunan Indonesia, dapat dikatakan jika kebijakan subsidi BBM bukanlah kebijakan energi yang tepat, mengingat dampaknya terhadap terjadinya konsumsi BBM berlebihan dan beban fiskal yang seharusnya dapat dialokasikan bagi investasi pembangunan berkelanjutan.

Mengingat begitu sulitnya mereformasi kebijakan subsidi yang telah terlanjur melekat di sektor energi Indonesia, maka sudah seharusnya pemerintah mulai melakukan pendekatan-pendekatan peningkatan kesadaran masyarakat akan krisis energi yang sedang kita alami sekarang. Nah!

Selain itu, subsidi BBM juga tidak sejalan dengan inisiasi untuk meringankan beban ekonomi masyarakat miskin dikarenakan lebih dari setengah alokasi subsidi BBM dikonsumsi oleh kalangan menengah atas. Ditambah lagi, dengan kondisi produksi dan cadangan minyak Indonesia yang terus menurun maka sudah selayaknya subsidi BBM dihapuskan karena tidak merefleksikan situasi sumber daya fosil Indonesia yang semakin langka.

Kenaikan Harga Minyak Berpotensi Menganggu Ekonomi Indonesia di 2017 | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Pekanbaru

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Pekanbaru

Ekonom Chatib Basri memprediksi harga minyak dunia terus merangkak naik di atas 30 persen. Hal ini bisa mengganggu kestabilan ekonomi Indonesia di tahun 2017.

Mantan Menteri Keuangan ini menuturkan, jika harga minyak dunia terus bertahan di puncak, maka pemerintah tak punya pilihan selain menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

"Harga minyak masih jadi  gangguan di 2017 dulu harga minyak itu USD40 dan sekarang naik jadi USD55 per barel," kata Chatib dalam acara Indonesia Eximbank Investor Gathering 2017 di The Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (7/2/2017).

"Pemerintah harus jaga-jaga BBM dinaikkan tahun ini secara gradual," ungkapnya.

"Kalau enggak akan berat di Pertamina. Tapi saya enggak bilang Pemerintah akan naikkan BBM, saya cuma bilang jaga-jaga," pungkasnya.

Menurutnya, Kebijakan kenaikan BBM ini dapat dilakukan secara bertahap. Sebab jika tidak kinerja dan keuangan Pertamina bakal mengalami kesulitan. Namun demikian, dia tak meengatakan bahwa pemerintah bakal menaikan harga BBM.