Untuk menghindari risiko mismatch nilai tukar | PT Rifan Financindo Berjangka
Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Dody Budi Waluyo mengatakan transaksi lindung nilai perlu dilakukan untuk menghindari risiko mismatch nilai tukar. Transaksi lindung nilai akan memastikan korporasi yang memiliki utang valas akan mendapatkan pasokan kebutuhan valas pada saat utang jatuh tempo.
“Menjaga mitigasi risiko currency mismatch dalam utang luar negeri,” ujarnya, Selasa (7/3/2017).
Korporasi swasta yang memiliki tanggungan utang luar negeri diwajibkan melakukan transaksi lindung nilai (hedging) di perbankan domestik.
Beleid tersebut mengatur bahwa setiap korporasi yang memiliki utang luar negeri dikenakan kewajiban melakukan transaksi lindung nilai minimal sebanyak 25% dari selisih negatif antara aset valas dikurangi kewajiban valas. Transaksi lindung nilai itu wajib dilakukan di perbankan domestik.
Ketentuan itu mulai berlaku penuh sejak 1 Januari 2017, setelah melalui masa transisi selama dua tahun.
Aturan mengenai kewajiban transaksi hedging di perbankan dalam negeri termuat dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.16/21/PBI/2014 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Non Bank.
BI: Kesadaran Perusahaan Minim untuk Dapat Pemeringkat Utang | PT Rifan Financindo Berjangka
Salah satu poin yang ditetapkan BI yakni mengenai penetapan kredit rating di perusahaan. Meskipun poin tersebut sudah ditetapkan sejak peraturan BI tersebut diterbitkan, namun nyatanya hingga saat ini, masih banyak perusahaan yang belum mendapatkan kredit rating.
"Ya masih banyak. Baru 27% yang menerapkan kredit rating. Padahal beleid ini sudah diterapkan sejak awal tahun 2016 lalu. BI mencatat dari 2.700 perusahaan, baru sejumlah itu yang menerapkan," kata Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo di Gedung BI, Jakarta, Selasa (7/3/2017).
Bank Indonesia (BI) menerangkan masih banyak perusahaan yang tidak mempunyai kesadaran untuk mendapat pemeringkat utang dari lembaga pemeringkat. Padahal dalam memenuhi Peraturan BI (PBI) Nomor 16/21/PBI/2014 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Non Bank, korporasi minimal memiliki kategori BB-.
Dia menilai, masih rendahnya korporasi yang menerapkan kredit rating lebih disebabkan masalah sosialisasi ketentuan, sehingga banyak perusahaan yang menganggap kredit rating bukan mandatory.
"Tidak apa-apa kami akan lihat progresnya yang penting BI sampaikan secara aktif hal ini. Saya yakin kedepan akan naik. Kalau kami lihat debiturnya perusahaan asing lalu tidak dapat rating, lalu dapat teguran dari BI, itu catatan record yang kurang baik bagi mereka. Makanya mereka akan comply," paparnya.
Menurut dia, dalam implementasi kredit rating masih perlu diperkuat dari sisi pelaporannya dan masih ada ruang untuk kestabilannya. "Ada swasta yang pinjam ULN belum comply untuk meminta kredit rating kepada lembaga pemeringkat. Jadi ya sekitar 73% masih belum lakukan kredit rating. Padahal ini mandatori peraturan yang tujuannya tidak overleverage," jelas Dody.
Korporasi malas patuhi aturan peringkat kredit | PT Rifan Financindo Berjangka
Mulai 1 Januari 2017, korporasi non bank wajib menerapkan tiga indikator kegiatan penerapan prinsip kehati-hatian (KPPK) utang luar negerinya (ULN). Hal ini sesuai dengan ketentuan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/21/PBI/2014.
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo mengatakan, dari 2.700 korporasi yang wajib melaporkan kegiatan KPPK, sebanyak 538 korporasi wajib mendapatkan peringkat kredit dari lembaga pemeringkat.
Namun dari 538 korporasi tersebut, baru 132 korporasi yang telah mendapatkan peringkat kredit baik dari lembaga pemeringkat dalam negeri maupun luar negeri.
Pertama, melalui penerapan transkasi hedging minimum sebesar 25% dengan perbankan dalam negeri yang berlaku mulai 1 Januari 2017. Kedua, mendapatkan peringkat utang minimal BB- dari lembaga pemeringkat dalam negeri dan luar negeri yang berlaku sejak 1 Januari 2016. Ketiga, rasio likuiditas minimum 70% yang juga berlaku sejak 1 Januari 2016, setelah tahun 2015 sebesar 50%.
Meski demikian, Bank Indonesia (BI) mencatat, dari tiga indikator yang disyaratkan tersebut, tingkat kepatuhan perusahaan dalam mendapatkan peringkat kredit dari lembaga pemeringkat masih minim.
Padahal menurut Dody, ketentuan peringkat kredit merupakan bagian dari mitigasi risko, baik dari sisi laverage maupun kegagalan dalam membayar utang. Apalagi, kondisi ekonomi global saat ini masih diliputi ketidakpastian, baik dari Amerika Serikat (AS) maupun Eropa.
"Jadi ini konteks moderat supaya mereka bisa mendapat pinjaman. Kalau ratingnya dibawah BB- maka risikonya tinggi, pengalaman krisis juga begitu," kata Dody, Selasa (7/3).
Dalam hal ini, BI menetapkan minimum peringkat kredit dari perusahaan yang memiliki ULN, yaitu hanya BB-. Tak hanya itu, BI juga tidak menentukan perusahaan mendapatkan peringkat kredit dari lembaga pemeringkat tertentu. Artinya, korporasi bisa memilih lembaga pemeringkat baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Sementara itu, tingkat kepatuhan korporasi nonbank dalam melaksanakan ketentuan kewajiban hedging minimal 25% melalui bank dalam negeri sudah tinggi. Begitu juga dengan kepatuhan pemenuhan rasio likuiditas sebesar 70%.
BI mencatat, jumlah korporasi nonbank yang melakukan hedging terus meningkat. Ia mencatat, dari 2.700 perusahaan yang wajib heding, hingga kuartal ketiga 2016 sebanyak 482 perusahaan telah benar-benar melakukan hedging. Jumlah itu meningkat dari kuartal ketiga 2015 yang hanya sebanyak 314 perusahaan.
Dody mengatakan, masih minimnya tingkat kepatuhan perusahaan dalam memenuhi indikator ini lantaran banyaknya perusahaan yang belum mengetahui bahwa ketentuan tersebut diatur dalam PBI. Dody juga menyadari sosialisasi dari bank sentral terkait hal ini masih perlu digalakkan.
"Kami akan lihat progresnya bulan depan. BI secara aktif sampaikan ini ke pelaku ekonomi," tambah Dody.
Dari 482 perusaaan, 91,5% diantaranya melakukan transaksi hedging dengan perbankan dalam negeri. Deputi Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Riza Tyas mengatakan, tingginya tingkat kepatuhan korporasi dalam memenuhi indikator KPPK ini dipangaruhi oleh hubungan bisnis.
Sementara itu, tingkat kepatuhan korporasi dalam memenuhi indikator kedua yakni rasio likuiditas sebesar 70% juga menunjukkan peningkatan dari 83% pada kuartal ketiga 2015 menjadi 86% pada kuartal ketiga 2016.
"Ini masalah akses ke pasar. Dalam dunia bisnis, kalau selama ini mereka costumer di bank itu, jadi wajar kalau mereka hedging di bank tersebut," tambahnya.