Terbaru

Pupuk Indonesia Minta Tambahan Gas untuk Proyek Bintuni

Pupuk Indonesia berniat untuk mengembangkan industri petrokimia | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Bandung

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Bandung


Head of Corporate Communication Pupuk Indonesia, Wijaya Laksana menjelaskan permintaan alokasi gas sudah disampaikan ke Kementerian ESDM pada bulan Oktober lalu. Penambahan alokasi gas ini disebabkan karena perubahan di dalam rencana bisnis perusahaan.

"Harga komoditi urea sedang anjlok dan harga gas kita masih cukup tinggi dibandingkan negara lain sehingga produk urea kami sulit bersaing, maka kami berencana beralih mengembangkan produk petrokimia," ujar Wijaya melalui siaran pers, dikutip Jumat (2/11).

PT Pupuk Indonesia (Persero) menyatakan telah mengajukan alokasi gas baru kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mempersiapkan Kawasan Industri Teluk Bintuni, Papua Barat yang dikhususkan sebagai pusat industri pupuk dan petrokimia.

Pada awalnya, perusahaan ingin membangun pabrik pupuk urea di kawasan tersebut. Namun, melihat kondisi pasar pupuk internasional yang kelebihan suplai, proyek tersebut menjadi kurang prospektif. Sehingga, di dalam rencana bisnis yang baru, Pupuk Indonesia berniat untuk mengembangkan industri petrokimia.

Pada tahap pertama, perusahaan akan mengembangkan industri petrokimia, yaitu methanol dan berbagai turunannya seperti ethylene, propylene, polyethylene dan polypropylene. Sedangkan pada tahap ke-dua, perusahaan siap mengembangkan pabrik pupuk NPK. 

Di dalam rencana bisnis baru perusahaan, ia menyebut bahwa proyek Teluk Bintuni akan dibangun dalam dua tahap.

Agar proyek itu bisa berjalan, Pupuk Indonesia meminta alokasi gas sebesar 130 MMSCFDi, atau lebih banyak dibanding permintaan alokasi sebelumnya yaitu 124 MMSCFD.

"Untuk mendukung keekonomian proyek, kami juga berharap dukungan pemerintah dalam membangun infrastruktur kawasan," tambahnya.

Kendati demikian, harga gas yang diminta masih tetap sama, yaitu US$3 per MMBTU. Harga ini dibutuhkan untuk mendukung keekonomian proyek tersebut, sesuai kajian perusahaan dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Kementerian Perindustrian.

"Kami juga telah melakukan diskusi dengan sejumlah mitra strategis untuk proyek tersebut," pungkas Wijaya.

Rencananya, Kawasan Industri Teluk Bintuni ini akan dibangun di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat dengan luas lahan 2.112 Hektare. Sebagai pengelola kawasan industri, Pupuk Indonesia juga berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan melibatkan anak-anak perusahaan yang bergerak dibidang utilitas dan logistik seperti PT Pupuk Indonesia Energi dan PT Pupuk Indonesia Logistik.

Selain Teluk Bintuni, kawasan industri lain yang jadi prioritas antara lain Buli di Maluku Utara, Morowali dan Palu di Sulawesi Tengah, Bitung di Sulawesi Utara, Bantaeng di Sulawesi Selatan, Konawe di Sulawesi Tenggara, Batulicin dan Jorong di Kalimantan Selatan, Ketapang dan Landak di Kalimantan Barat, Sei Mangkei dan Kuala Tanjung di Sumatera Utara, dan Tanggamus di Lampung.

Sebagai informasi, Kawasan Industri Teluk Bintuni masuk sebagai satu dari 14 kawasan industri prioritas Kemenperin.

Pupuk Indonesia Kurangi Produksi Pupuk Nonsubsidi | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Bandung

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Bandung


"Lebih lagi sekarang harga internasional sedang anjlok," kata Head of Corporate Communication Pupuk Indonesia Wijaya Laksana, Jumat (2/12).

Harga energi gas yang tinggi di Indonesia memaksa PT Pupuk Indonesia (Persero) mengurangi produksi pupuk nonsubsidi. Sebab, biaya gas meliputi 70 persen biaya produksi pupuk.

"Dampaknya jadi sulit bersaing di pasar internasional," katanya.

Ia mengatakan, dulu harga pupuk urea 300 dolar AS per ton namun sekarang berada di kisaran 200 dolar AS per ton. Angka 200 dolar AS per ton diperkirakan akan bertahan hingga akhir 2017. Sementara itu, biaya produksi pupuk Indonesia sebesar 260 dolar AS per ton.

Pupuk Indonesia mengalokasikan 20 persen dari total produksi untuk pupuk non subsidi. Sisanya yakni 80 persen untuk pupuk nonsubsidi. Kendati hanya 20 persen, namun diakui Wijaya keuntungannya mencapai 80 persen.

Pengurangan produksi nonsubsidi menurutnya harus dilakukan untuk mengurangi kerugian yang ada. Padahal, dulu pupuk non subsidi merupakan primadona sumber keuntungan bagi Pupuk Indonesia.

Namun, ia menambahkan, tingginya harga gas tidak akan mempengaruhi produksi dalam negeri. "Yang jelas kalau untuk domestik produksinya aman," tegas dia.

"Kita bisa berkembang, bangun pabrik baru kan dari laba tapi sekarang berbalik karena kita nggak bisa bersaing," lanjut dia.

Sementara kebutuhan pupuk nasional secara total menurutnya mencapai 13 juta ton dan  yang disubsidi 9,55 juta ton.

Kapasitas desain produksi pabrik Pupuk Indonesia sebesar 8,8 juta ton per tahun meski realisasinya hanya 7,9 juta ton urea. "Kalau total dengan pupuk lain 13,3 juta ton," katanya.

Pupuk Indonesia Klaim Telah Kembangkan Bintuni | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Bandung

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Bandung


Kepala Komunikasi Korporat Pupuk Indonesia Wijaya Laksana mengatakan salah satu pengembangannya terkait kebutuhan gas bumi untuk industri petrokimia. Bersama dengan tim dari Kementerian BUMN dan Kementerian Perindustrian, Pupuk Indonesia telah melakukan kajian berupa skema proyek, keekonomian proyek, serta proyeksi kebutuhan gas bumi.

PT Pupuk Indonesia (Persero) telah melakukan sejumlah langkah untuk mendukung program pengembangan kawasan Bintuni.

Untuk pengembangan proyek tersebut, pasokan gas yang dibutuhkan adalah sekitar 124 MMSCFD, dengan harga keekonomian yang ideal adalah sekitar USD3 per MMBTU.

"Berdasarkan kajian tersebut, untuk pengembangan tahap 1 di Bintuni kami akan mengembangkan industri petrokimia, yaitu methanol dan berbagai turunannya seperti ethylene, propylene, polyethylene, dan polypropylene. Untuk tahap kedua, kita akan kembangkan pupuk NPK," kata Wijaya dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Jumat (2/12/2016).

"Untuk mendukung keekonomian proyek, kami juga berharap dukungan pemerintah dalam membangun infrastruktur kawasan," kata Wijaya.

"Harga komoditi urea sedang anjlok dan harga gas kita masih cukup tinggi dibandingkan negara lain sehingga produk urea kita sulit bersaing, maka kami berencana beralih mengembangkan produk petrokimia," jelas Wijaya.

?Sebelumnya, Pupuk Indonesia bermaksud mendirikan pabrik pupuk urea baru di kawasan tersebut, namun melihat kondisi pasar internasional saat ini, proyek tersebut dinilai menjadi kurang prospektif.

Untuk itu, Pupuk Indonesia pada Oktober lalu telah mengajukan permohonan alokasi dan harga gas industri kepada Menteri ESDM. Alokasi yang diminta adalah 130 MMSCFD dengan harga USD3. Menurut rencana, proyek pengembangan tersebut akan dibangun di kawasan Kabupaten Teluk Bintuni dengan luas lahan sekitar 2.112 hektare (ha).

"Kami juga telah melakukan diskusi dengan sejumlah mitra strategis untuk proyek tersebut," pungkas Wijaya.

Pupuk Indonesia telah melakukan koordinasi dengan pemerintah setempat untuk pembangunan kawasan industri tersebut serta menjadi pengelola kawasan dengan melibatkan anak-anak perusahaan yang bergerak dibidang utilitas dan logistik seperti PT Pupuk Indonesia Energi dan PT Pupuk Indonesia Logistik.