Terbaru

BPS Anggap Pelemahan Rupiah Bagus Buat Genjot Nilai Ekspor

Momen depresiasi ini seharusnya bisa diikuti dengan ekspansi ekspor | PT Rifan Financindo Berjangka 

PT Rifan Financindo Berjangka


Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, kebijakan ini akan membuat Rupiah tertekan dalam jangka pendek. Sehingga, ia memprediksi nilai tukar eceran Rupiah di bulan ini akan melemah dari posisi bulan November sebesar Rp13.500 per Dolar AS.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut langkah Bank Sentral Amerika Serikat (AS) dalam menaikkan suku bunga acuan Fed Rate bisa membantu Indonesia dalam meningkatkan nilai ekspornya. Pasalnya, peningkatan suku bunga acuan membuat mata uang Dolar AS menguat, dan membuat Rupiah menjadi terdepresiasi.

"Jika suku bunga acuan AS meningkat, tentu Rupiah akan melemah terlebih dahulu. Tapi kalau Rupiah melemah, maka ini adalah kesempatan bagi barang ekspor agar lebih gampang dijual di luar negeri," terang Sasmito, Kamis (15/12)

Kendati demikian, momen depresiasi ini seharusnya bisa diikuti dengan ekspansi ekspor. Pasalnya, dengan nilai mata uang yang lebih rendah, produk ekspor Indonesia harusnya bisa lebih efisien dan memiliki daya saing.

Lebih lanjut, ia menyebut jika daya saing produk ekspor ini bisa bermanfaat pada tahun depan, di mana pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan akan membaik. Sehingga, ada ekspektasi bahwa permintaan barang dan jasa dari Indonesia bisa meningkat.

"Selain andalkan komoditas ekspor tradisional, kita harus andalkan komoditas lainnya khususnya yang unik dan kreatif. Banyak produk yang punya kesempatan untuk didorong. Tak hanya ekspor barang namun ekspor jasa," lanjutnya.

Dengan memperbanyak jumlah ekspor, menurutnya hal ini bisa menahan laju pelemahan Rupiah semakin dalam. Karena semakin tinggi ekspor, permintaan akan mata uang Rupiah juga semakin deras.

Namun menurutnya, Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan produk ekspor biasa seperti komoditas perkebunan dan barang tambang. Momentum ini, lanjutnya, pasti akan terasa manfaatnya jika diiringi dengan diversifikasi ekspor.

"Apakah perdagangan AS akan lebih protektif? Saya kira, saya tidak yakin. Karena semua negara butuh perdagangan internasional, karena tak semua kebutuhan suatu negara bisa dipenuhi secara swadaya. Contohnya, Amerika Serikat saja impor udang dari Indonesia," terangnya.

Di samping itu, ia juga menyebut jika depresiasi ini juga bisa bermanfaat bagi hubungan dagang dengan AS, meski ada ancaman kebijakan proteksionisme dagang dari Presiden AS terpilih, Donald Trump. Menurutnya, perdagangan internasional pasti akan dibutuhkan oleh semua negara, sehingga ia yakin kebijakan ini hanya akan menjadi wacana semata.

Sebagai informasi, ekspor non-migas ke AS pada sepanjang Januari hingga November 2016 tercatat sebesar US$14,22 miliar, atau 11,97 persen dari total ekspor sebesar US$130,65 miliar. Sementara itu, nilai impor non-migas dari negara Paman Sam itu tercatat US$6,54 miliar pada periode yang sama. Artinya, terdapat surplus US$7,68 miliar dari aktivitas perdagangan kedua negara. 

Seperti diberitakan sebelumnya, Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) yang digelar 13-14 Desember 2016 memutuskan untuk menaikkan FFR sebesar 25 basis poin dari pada kisaran 0,25 hingga 0,5 persen menjadi 0,5 hingga 0,75 persen. Salah satu pemicunya adalah untuk meningkatkan ekonomi selama satu bulan ke depan sebelum Presiden terpilih Donald Trump secara resmi berkantor di Gedung Putih.

Impor Ponsel, Notebook hingga Senjata Naik | PT Rifan Financindo Berjangka 

PT Rifan Financindo Berjangka


Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor Indonesia pada November 2016 mencapai USD12,66 miliar. Jumlah tersebut naik 9,88% dibanding periode tahun lalu sebesar USD11,52 miliar.

Sementara dibanding realisasi Oktober 2015, kinerja impor November ini menanjak 10%. Impor migas melonjak 13,89% dan impor barang-barang nonmigas Indonesia dari negara lain mencapai 9,39%.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo merincikan, impor pada November terdiri dari USD1,76 miliar impor migas dan USD10,90 miliar impor non migas.

Sasmito menuturkan, peningkatan terbesar impor non migas adalah mesin dan peralatan listrik yang mencakup ponsel di dalamnya.

Penyumbang impor kedua adalah golongan mesin dan peralatan mekanik yang sebesar USD149,8 juta. Dalam golongan ini mencakup komputer jinjing (laptop) dan notebook.

Di sisi lain, impor perangkat optik juga mengalami kenaikan menjadi USD86,7 juta dan juga impor senjata dan amunisi sebesar USD51,3 juta.

"Impor terbesar mesin dan peralatan listrik senilai USD210,3 juta ini biasa impor ponsel termasuk yg di-assembly di sini," kata dia dalam konferensi pers di Gedung BPS, Kamis (15/12/2016).

"Mesin dan peralatan mekanik nilainya USD149,8 juta seperti notebook, perhiasan permata juga naik USD115,3 juta," tambah dia.

Konsumen Indonesia Mulai Beralih ke Pedagang Besar Dibandingkan Eceran | PT Rifan Financindo Berjangka 

PT Rifan Financindo Berjangka


Pola distribusi perdagangan sejumlah komoditas strategis di Indonesia menunjukkan adanya perubahan. Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, ada kecenderungan konsumen kini lebih memilih membeli langsung produk komoditas strategis langsung ke pedagang besar dibanding membelinya dari pedagang eceran. Artinya, jalur atau rantai distribusi tahun ini terpangkas dibanding tahun lalu. 

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo menjelaskan, penurunan jumlah pasokan yang dijual dari pedagang eceran ke konsumen akhir disebabkan konsumen akhir sebagian mulai memilih membeli beras langsung ke pedagang besar atau agen. 

Komoditas beras misalnya, bila tahun 2015 lalu beras yang dijual dari pedagang eceran ke konsumen akhir sebanyak 90,89 persen dari total pasokan, maka tahun ini tercatat beras yang dijual dari pedagang eceran ke konsumen menurun menjadi 84,18 persen. 

Fenomena yang nyaris sama dengan komoditas beras juga terjadi untuk minyak goreng, telur ayam ras, dan gula pasir. Minyak goreng misalnya, saat ini hanya 37,62 persen pasokan yang dijual dari distributor ke pedagang eceran. Misalnya, distributor menjual ke pihak lainnya termasuk pedagang besar, restoran, dan konsumen akhir. 

Sebagai gambaran, bahkan jumlah penjualan dari agen ke pedagang eceran juga mengalami penurunan dibanding tahun lalu. "Jadi sekarang konsumen akhir juga beli langsung ke pedagang besar. Ada yang ke pasar induk Cipinang, Kramatjati, Lotte Mart, dan toko besar lain. Artinya akses konsumen akhir tak lagi andalkan ke pedagang eceran namun ke pedagang besar supaya harganya lebih murah," ujar Sasmito, Kamis (15/12). 

"Contoh pola distribusi perdagangan minyak goreng, terpanjang ada di Jakarta. Dari produsen, jual ke distributor. Lalu menjual minyak goreng langsung ke pedagang eceran sebanyak 52 persen. Ini nggak lewat subdistributor atau agen. Namun ada juga ke pihak lain. Nah, pedagang eceran ini jual 75,91 persen ke konsumen rumah tangga," katanya.

Sedangkan untuk gula pasir, saat ini hanya 68,71 persen pasokan yang dijual dari pedagang grosir ke pedagang eceran. Sisanya, pedagang grosir juga menjualnya langsung ke konsumen akhir. 

Sementara itu, potensi pola terpendek untuk distribusi perdagangan komoditas beras dan telur ayam terjadi di Aceh, gula pasir di Jambi, dan distribusi minyak goreng terpendek dialami Bengkulu.

Secara umum, fenomena ini menggambarkan bahwa persentase penjualan beras dengan pola umum perdagangan tahun ini lebih kecil dibanding tahun 2015. BPS juga merilis, potensi pola terpanjang distribusi perdagangan baik untuk beras, minyak goreng, gula pasir, dan telur ayam ras terjadi di DKI Jakarta.