Terbaru

Asing Hanya Boleh Miliki 85% Saham Perusahaan Pinjaman Online di RI

Pihak asing hanya berpartisipasi sebagai pemberi pinjaman saja  PT Rifan Financindo Berjangka 

PT Rifan Financindo Berjangka

Dalam pasal 3 pada POJK Nomor 77 /POJK.01/2016 disebutkan, kepemilikan saham penyelenggara oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing, baik secara langsung maupun tidak langsung paling banyak 85%.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja menerbitkan aturan yang mengatur tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) alias pinjam meminjam online. Salah satu isinya adalah batasan kepemilikan pihak asing terhadap layanan yang bergerak di bisnis tersebut.

Deputi Komisioner Manajemen Strategis IA OJK, Imansyah, mengatakan, jika perusahaan fintech asing ingin mendaftar sebagai anggota penyelenggara bisnis P2P lending yang ditunjuk OJK, maka harus segera melakukan divestasi kepemilikannya.

OJK pun hanya mengizinkan pihak asing untuk berpartisipasi sebagai pemberi pinjaman saja, namun mereka tidak boleh mendaftar sebagai penerima pinjaman.

"Makanya ada satu tahun sebelum perizinan. Kalau mereka porsi kepemilikan asingnya lebih dari 85%, mereka divestasi. Nanti proses mereka memenuhi permintaan kita bisa jadi price fixing," katanya dalam jumpa pers di Gedung OJK, Jakarta, Selasa (10/1/2017).

Seiring dengan berlangsungnya pendaftaran selama 6 bulan ke depan, OJK akan mengeluarkan aturan-aturan pendukung yang akan mengatur mengenai tata cara pemberian pinjaman, tata cara perubahan batasan plafon pinjaman, tata kelola teknologi, dan mengenai digital signature.

OJK sendiri memberikan waktu selama 6 bulan ke depan untuk melakukan pendaftaran. Paling lama satu tahun setelah terdaftar, penyelenggara wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh izin kepada OJK.

OJK Terbitkan Aturan Peminjaman Uang Berbasis Teknologi | PT Rifan Financindo Berjangka 

PT Rifan Financindo Berjangka

Peraturan OJK itu bernomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Regulasi ini diharapkan dapat mendukung pertumbuhan industri layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi atau fintech peer-to-peer (P2P) lending. Sebuah alternatif sumber pembiayaan baru bagi masyarakat yang selama ini belum dapat dilayani secara maksimal oleh industri jasa keuangan konvensional, seperti perbankan, pasar modal, perusahaan pembiayaan, dan modal ventura.

Kesenjangan akses permodalan bagi usaha kecil dan menengah masih terjadi meski perusahaan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi kian banyak. Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan peraturan baru yang akan menekan kesenjangan tersebut dengan berbagai kemudahan dan tanpa limitasi ruang.

Deputi Komisioner Manajemen Strategis IA Otoritas Jasa Keuangan, Imansyah, mengatakan, penyelenggara fintech P2P lending diharapkan dapat membuka akses dana pinjaman, baik dari luar negeri maupun dari berbagai daerah di dalam negeri kepada masyarakat luas yang membutuhkan. Penyelenggara juga diharapkan dapat memperbaiki tingkat keseimbangan dan mempercepat distribusi pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ke berbagai daerah.

POJK ini juga dibuat untuk melindungi kepentingan konsumen dan nasional dan pada saat yang sama tetap menyediakan ruang bagi penyelenggara fintech di tanah air untuk dapat tumbuh dan berkembang, serta memberi kontribusi bagi perekonomian nasional.

Dia menjelaskan, penyelenggara fintech P2P lending dalam POJK ini dikelompokkan sebagai lembaga jasa keuangan lainnya yang masuk dalam ranah pengawasan sektor Industri Keuangan Nonbank (IKNB). Selain mengatur penyelenggaraan fintech P2P lending, POJK ini juga mendorong terciptanya ekosistem fintech secara menyeluruh yang mencakup Fintech 2.0 (antara lain fintech perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga keuangan mikro, perusahaan pembiayaan, modal ventura, pergadaian, penjaminan, clan payment) dan Fintech 3.0 (antara lain Fintech bigdata-analytic, aggregator, robo-advisor, blockchain, dan lain-lain).

"POJK ini juga sejalan dengan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) serta mendukung program Nawacita, Program Gerakan 1.000 start-up, dan Paket Kebijakan Ekonomi 14 yang dicanangkan oleh Pemerintah," kata Imansyah di kantornya, Selasa 10 Januari 2017.

Selain itu, Imansyah berharap dengan regulasi ini akan memutakhirkan basis data jumlah penyelenggara fintech di dalam negeri. Hingga tahun 2016, penyelenggara fintech start-up meningkat sekitar tiga kali lipat dari sekitar 51 perusahaan pada triwulan I 2016 menjadi 135 perusahaan pada triwulan IV tahun 2016.

Dalam rangka mengadopsi semangat regulatory sandbox sebagaimana diimplementasikan pada pengaturan fintech start-up di berbagai negara, POJK ini menerapkan ketentuan mengenai pendaftaran dan perizinan. Penyelenggara diwajibkan untuk melakukan pendaftaran sebelum mengajukan permohonan untuk memperoleh izin.

"Pertumbuhan yang sangat cepat ini perlu diantisipasi untuk melindungi kepentingan konsumen terkait keamanan dana dan data, serta kepentingan nasional terkait pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme, serta stabilitas sistem keuangan," tuturnya.

Untuk melindungi kepentingan konsumen, lanjut dia, penyelenggara antara lain wajib menyediakan escrow account dan virtual account di perbankan serta menempatkan data center di dalam negeri. Guna melindungi kepentingan stabilitas sistem keuangan nasional, jumlah pinjaman dibatasi maksimal Rp 2 miliar

Dalam masa pendaftaran ini, kata Imansyah, penyelenggara dapat melakukan aktivitas secara penuh dengan mendapat pendampingan dari OJK yang secara terus-menerus melakukan evaluasi. Paling lama satu tahun setelah terdaftar, penyelenggara wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh izin kepada OJK.

Pinjaman Online Diatur OJK, Bagaimana Bunganya? | PT Rifan Financindo Berjangka 

PT Rifan Financindo Berjangka

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah merilis aturan mengenai pinjam meminjam pada layanan digital dengan skema peer to peer (P2P) lending atau penyelenggara bisnis pinjaman dari pengguna ke pengguna. Dalam aturan ini, perusahaan P2P Lending akan diberi kesempatan untuk mendaftarkan perusahaannya ke OJK dengan berbagai syarat.

Dalam pasal 17 yang tertuang pada POJK Nomor 77 /POJK.01/2016, disebutkan bahwa penyelenggara memberikan masukan atas suku bunga yang ditawarkan oleh Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman dengan mempertimbangkan kewajaran dan perkembangan perekonomian nasional. Namun OJK meminta perusahaan Fintech mengutip bunga secara rasional.

Dalam peraturan tersebut, OJK tidak menentukan besaran bunga yang dipatok oleh kreditur kepada debitur dalam melakukan pengembalian pinjaman. OJK juga tidak menyebutkan batas bunga yang dibolehkan dalam bisnis P2P Lending lantaran bisnis ini memiliki risiko kredit yang tinggi.

"Bunga itu refleksi dari kesepakatan antara kedua pihak (debitur dan krediturl, biaya yang timbul dari proses pinjam meminjam uang dan resikonya. Di dalam POJK, kita tidak atur secara eksplisit. Tapi bunganya harus wajar dan berkontribusi bagi perekonomian nasional. Jangan sampai seperti rentenir," kata Deputi Komisioner Manajemen Strategis IA OJK, Imansyah dalam jumpa pers di Gedung OJK, Jakarta, Selasa (10/1/2016).

"Besaran bunga kalau udah ketahuan ratingnya, kalau rating bagus berarti suku bunga enggak harus besar, karena profil risiko rendah," tambah Imansyah.

Namun demikian, OJK memperbolehkan perusahaan Fintech bekerja sama dengan lembaga rating seperti Pefindo untuk menilai kelayakan debitur. Selain itu, perusahaan Fintech juga diperbolehkan mengakses Sistem Debitur Indonesia (SDI) untuk mengetahui profil debitur dalam mengajukan pinjaman.

Selain itu, dalam peraturan tersebut, OJK juga membatasi nominal pinjaman yang bisa diberikan oleh perusahaan Fintech. Otoritas memberikan plafon pinjaman yakni maksimal Rp 2 miliar untuk setiap penerima pinjaman atau debitur.

Pertumbuhan yang sangat cepat ini perlu diantisipasi untuk melindungi kepentingan konsumen terkait keamanan dana dan data, serta kepentingan nasional terkait pencegahan pencucian uang hingga pendanaan terorisme.

Sebagai informasi, pertumbuhan jumlah penyelenggara Fintech start-up di tahun 2016 telah meningkat sekitar tiga kali lipat dari sekitar 51 perusahaan pada triwulan I 2016 menjadi 135 perusahaan pada triwulan IV 2016.