Pangkas Harga Gas Industri, Kementerian ESDM Masih Berdiskusi dengan Pelaku Usaha | PT Rifan Financindo Berjangka
Menurut Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Bumi (Migas), Direktorat Jenderal Migas, Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi saat ini pihaknya tengah berkomunikasi dengan asosiasi industri, salah satunya Indonesian Petroleum Association (IPA).
Dalam rapat kabinet terbatas beberapa waktu lalu, Presiden RI Joko Widodo memberikan target penurunan harga gas untuk industri bisa diketahui kepastiannya dua bulan ke depan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berupaya mengejar target harga gas untuk industri sebesar 5-6 dollar AS per MMBTU.
"Kami juga lagi bicara dengan Kementerian Perindustrian. Tunggu tanggal mainnya," kata Agus, di Jakarta, Kamis (6/10/2016).
Kementerian ESDM juga mempunyai usulan solusi untuk pengaturan harga gas hulu. Pertama, menetapkan pengurangan harga yang ditanggung oleh bagian negara mulai 2017, namun kebijakan ini tidak berlaku surut.
Agus juga menyampaikan, kontrak Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) juga akan dikaji lagi. Namun dia memastikan hal tersebut harus mendapatkan kesepakatan dari kedua pihak yang berkontrak.
Dari simulasi yang dilakukan SKK Migas untuk harga gas industri dengan kontrak PJBG di atas 4 dollar AS per MMBTU akan mengurangi Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar 474,9 juta dollar AS.
Di samping perubahan formulasi harga gas, Agus juga mengusulkan dilakukan audit biaya operasi kegiatan usaha hulu migas.
Kedua, menurunkan harga secara menyeluruh proporsional antara bagian pemerintah dan bagian kontraktor, termasuk efisiensi biaya distribusi.
"Kalau hanya mengacu minyak, nanti ketika harga minyak di atas 100 dollar AS per barel, harga gas bisa sampai 17-18 dollar AS per MMBTU," ucap Agus.
Hasil simulasi untuk kontrak dengan harga 5 dollar AS per MMBTU dapat mengurangi PNBP gas sebesar 300,1 juta dollar AS.
"Hal ini memerlukan perubahan kebijakan asumsi dasar APBN, di mana perkiraan bagian negara sebesar 3,5 miliar dollar AS," imbuh Agus.
Separuh Komponen Harga Gas Bakal Ikut Fluktuasi Harga Minyak | PT Rifan Financindo Berjangka
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan akan menghapus skema harga tetap (fixed) dengan eskalasi tahunan di dalam setiap pembuatan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) antara Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan pembeli.
Direktur Pembinaan Program Migas, Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi mengatakan, skema ini merupakan jalan tengah untuk menekan harga gas yang selama ini menjadi momok bagi industri pengguna. Sehingga dalam jangka panjang, harga output industri domestik bisa lebih murah.
Harga tetap sepanjang tahun atau sampai berakhirnya masa kontrak akan diganti dengan formula hybrid. Di mana, separuhnya atau 50 persen komponen harga akan mengikuti fluktuasi harga minyak dunia.
"Pergantian formulasi harga gas ini merupakan tindak lanjut dari keinginan Presiden Joko Widodo untuk menurunkan harga gas dalam jangka 1,5 bulan ke depan. Ini sedang dibicarakan dengan pelaku usaha," jelas Agus, Kamis (6/10).
Namun menurut Agus, munculnya skema harga gas secara fixed itu juga bukan sepenuhnya salah KKKS. Pasalnya, skema itu lahir ketika harga minyak sedang tinggi, dan bertujuan untuk melindungi pengguna akhir dari meroketnya biaya operasional industri.
"Pada saat itu, dengan benchmark harga minyak yang tinggi, harga gas bisa mencapai US$20 per MMBTU, sehingga muncul skema fixed dengan eskalasi. Kalau misalkan industri sekarang mengeluh harga gas US$10 per MMBTU atau US$8 per MMBTU ya tidak ada apa-apanya dibanding dulu," lanjutnya.
Ia melanjutkan, skema harga fixed ini dianggap sebagai biang keladi tingginya harga gas Indonesia saat ini. Mengingat harganya yang tidak relevan dengan kondisi pasar saat ini.
Simalakama Harga
Sedangkan di sisi lain, pemerintah tak rela jika harga gas mengikuti harga minyak. Pasalnya, harga gas bisa melonjak tajam jika harga minyak meningkat dan merugikan pengguna akhir. Sebaliknya, jika harga gas terjerembab, maka itu bisa merugikan KKKS.
Tetapi dengan harga gas yang semakin menurun, ia mengatakan skema harga fixed ini ibarat buah simalakama. Pasalnya, harga gas tetap akan naik per tahunnya, tanpa mempertimbangkan keadaan harga gas dunia.
Lebih lanjut, ia menyebut jika seluruh PJBG dengan skema harga fixed akan diubah menjadi skema hybrid. Kendati demikian, ia tak menyebut kapan skema ini bisa mulai diimplementasikan.
"Dan ini perlu dikomunikasikan dengan baik. Pasalnya, PJBG itu kan harus ada kesepakatan antara dua pihak. Karena itu adalah kontrak, sehingga tak bisa diputuskan secara sepihak," lanjutnya
"Makanya kami anggap skema hybrid ini skema terbaik. Harganya tak akan berfluktuasi secara ekstrem jika terjadi perubahan harga minyak," lanjutnya.
Direktur Teknik dan Pengembangan PT Pupuk Kujang, Hanggara Patrianta menjelaskan, skema ini dianggap tidak relevan karena tidak sejalan dengan perkembangan harga pupuk internasional yang tengah terpuruk. Akibatnya, Harga Pokok Penjualan (HPP) perusahaan jauh di atas harga pupuk internasional, yang membuat produk perusahaan tak punya daya saing.
Sebelumnya, industri pupuk juga mengeluhkan harga gas dengan skema fixed ditambah eskalasi per tahunnya.
Utilisasi Manufaktur Akan Terdongkrak 20% | PT Rifan Financindo Berjangka
Kalangan industriawan dan pengusaha menyatakan bahwa penurunan harga gas industri ke level US$ 6 mmbtu bakal mendongkrak pemanfaatan kapasitas produksi terpasang (utilisasi) industri manufaktur pengguna gas hingga 20%. Biaya produksi juga bisa dipangkas hingga 30%, sehingga daya saing industri meningkat dan siap bersaing dengan produk impor.
Demikian rangkuman keterangan Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (The Indonesian Iron and Steel Association/IISIA) Hidayat Triseputro, Ketua Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan, dan Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Industri Hulu dan Petrokimia Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Achmad Widjaja. Mereka dimintai keterangan secara terpisah di Jakarta, Rabu (5/10).
Oleh sebab itu, kalangan pengusaha meminta pemerintah memenuhi janji penurunan harga gas industri pada November mendatang. Kebijakan ini tidak hanya bermanfaat bagi industri, melainkan juga perekonomian nasional. Berdasarkan kalkulasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, ekonomi Indonesia bisa melesat hingga menjadi 7%, begitu harga gas dipangkas US$ 1-2 per mmbtu.
Hidayat Triseputro menyatakan, industri baja menantikan realisasi penurunan harga gas industri. Kebijakan ini dapat membuat industri baja nasional kompetitif, sehingga daya saing terkerek.
Saat ini, kata Hidayat, kontribusi biaya gas terhadap total produksi di industri baja sangat variatif, tergantung teknologi dan proses produksi industri hulu, antara, dan hilir. Namun, secara rata-rata kontribusinya berkisar 5-50%.
Selain itu, dia menuturkan, pemanfaatan kapasitas terpasang (utilisasi) bisa naik menjadi 60% lebih dari saat ini 40%. Adapun kapasitas produksi terpasang industri baja nasional mencapai 9 juta ton per tahun. “Kenaikan utilisasi juga didorong oleh pelaksanaan program P3DN, penerapan SNI wajib, pengendalian serbuan baja impor dengan harga murah,” kata dia.
Sementara itu, Yustinus Gunawan mengatakan, harga gas di Indonesia memang tinggi. Industri kaca membeli harga gas pada kisaran US$ 8 per mmbtu. Penurunan harga gas pada kisaran US$ 6 per mmbtu bisa meningkatkan daya saing industri kaca.
“Penurunan biaya produksi masih dihitung oleh teman-teman industri baja,” kata dia.
Dia belum dapat memastikan berapa persen penurunan biaya produksi yang dihasilkan dari koreksi harga gas. Sebab, ini tergantung pada kebijakan masing-masing pabrik. Di industri baja, gas digunakan pada proses pembuatan besi dengan teknologi direct reduction. Besi kemudian diolah menjadi baja setengah jadi untuk selanjutnya diolah menjadi baja.
"Kami hanya menunggu realisasinya di lapangan dan berharap pemerintah serius menjalankannya. Dengan harga gas yang lebih kompetitif, industri kaca Indonesia bisa bersaing dengan Malaysia dan Singapura,” papar dia.
Kalkulasi Kadin
Achmad Widjaja meyakini, penurunan harga gas industri sebesar US$ 1-2 per mmbtu bakal mengerek pertumbuhan ekonomi menjadi 7%. Sebab, hal itu membuat industri pengguna gas, seperti pupuk, baja, keramik, kaca lembaran, dan petrokimia lebih efisien, sehingga daya saing meningkat.
Seiring dengan itu, dia menerangkan, produksi industri pengguna gas bakal tumbuh pesat. Pabrik bisa menambah jumlah shift hingga tiga dari saat ini rata-rata 1,5. Produk lokal pun dapat bersaing dengan impor di pasar domestik, karena berdaya saing tinggi.
“Pabrik akan bisa melakukan efisiensi secara maksimal, mendekati 100% jika harga gas turun. Pabrik juga akan bisa menggenjot produksi secaara massal,” ujar dia.
“Kami mendesak penurunan harga gas industri segera direalisasikan. Kalau bisa sudah jalan kuartal IV tahun ini, sehingga ekonomi dapat berakselerasi tahun depan,” ujar Achmad.
Achmad Widjaja menyatakan, koordinasi antara Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian BUMN harus ditingkatkan. Semua kementerian harus menyamakan visi bahwa penurunan harga gas industri positif bagi ekonomi Indonesia. Apalagi, semua industri pengguna gas sangat menantikan keputusan ini.
Tahap awal, kata dia, penurunan harga gas bisa diberikan kepada lima sektor industri, yakni petrokimia, pupuk, keramik, kaca lembaran, dan baja. Di lima cabang industri ini, peranan gas tak tergantikan, baik sebagai bahan baku maupun sebagai sumber energi.
Menurut dia, semua kementerian harus menjalankan Peraturan Presiden (PP) No 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, yang menjadi landasan hukum penurunan harga gas. PP yang dirilis Mei 2016 ini hingga kini belum direalisasikan. Dia menduga, hal ini disebabkan kurangnya koordinasi antar-kementerian.
“Saat PP ini dirilis, semua peraturan menteri (Permen) sudah tidak berlaku lagi, sehingga semua menteri harus mengikuti PP. Kalau PP ini dijalankan sejak lama, saya kira Presiden Jokowi tak perlu sampai turun tangan untuk menginstruksikan penurunan harga gas industri,” kata dia.