Pelaku usaha meminta pemerintah merevisi UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Pekanbaru
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardhana mengatakan UU Jaminan Produk Halal (JPH) disahkan secara prematur sehingga implementasinya pun tidak tepat sasaran.
Danang mengungkapkan pihaknya akan menyerahkan surat rekomendasi ke Presiden Joko Widodo pekan depan. Kalangan pengusaha menginginkan sertifikat halal tidak bersifat wajib tapi sukarela. Apindo menilai industri dalam negeri bakal mengalami kesulitan karena mayoritas bahan baku di sektor yang diwajibkan halal, yakni makanan dan minuman (mamin), kosmetik, farmasi, dan obat-obatan masih impor. International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG) menyebut 95% bahan baku industri farmasi Tanah Air diimpor, sedangkan Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi) mencatat 90% bahan baku industri kosmetik nasional masih impor. Hal ini mempengaruhi daya saing karena produsen membutuhkan waktu lebih lama dalam pengolahan serta peluncuran produknya.
Oleh karena itu, penyusunan aturan turunan beleid itu yang berbentuk Peraturan Pemerintah (PP) dinilai tidak perlu dilakukan. “Definisi halalnya sudah keliru, teknik mensertifikasinya sudah salah, kemudian terdapat pasal-pasal yang saling kontradiktif. Kenapa pemerintah harus capek-capek menyusun PP yang jelas akan meleset juga?” papar dia usai Kongkow Bisnis Radio PAS Perlukah Sertifikasi Halal Diwajibkan?, Rabu (5/10/2016).
JPH dan fasilitas produksi pun mesti diubah atau bahkan ditambah. Ujung-ujungnya, harga naik karena beban biaya bertambah untuk melalui proses sertifikasi yang panjang dan pangsa pasar pun terpengaruh termasuk market share produk ekspor. Pemerintah juga disebut bakal menanggung beban baru dari sisi anggaran karena mesti mendanai kehadiran lembaga baru.
Pengusaha Komestik Nilai Sertifikasi Halal Tak Tepat | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Pekanbaru
Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi) menilai kewajiban label halal pada produk kosmetik yang diatur pemerintah dalam Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) tidak tepat.
Sekalipun ada beberapa perusahaan kosmetik yang mengklaim produknya halal, Dewi menilai, hal ini hanya sebatas cara perusahaan menjual produknya atau selling point.
"Kosmetik ini digunakan di luar, tidak masuk ke dalam tubuh konsumen layaknya makanan, minuman, dan obat. Jadi, tidak tepat diterapkan ke kosmetik untuk halal ini," ungkap Ketua Bidang Teknis dan Ilmiah Perkosmi Dewi Rijah Sari, Rabu (5/10).
Pasalnya, label halal tak jauh berbeda fungsinya, seperti jaminan kosmetik yang tahan digunakan selama 24 jam atau kosmetik yang tahan air atau waterproof.
Bila pemerintah bersikeras memukul rata bahwa semua produk kosmetik harus berlabel halal, Dewi memastikan, aturan ini akan menghambat perputaran produk kosmetik di pasaran yang saat ini terbilang cepat.
"Aturan ini membuat produk kosmetik lamban masuk ke pasaran. Padahal tren kosmetik itu cepat sekali perputarannya, cenderung mengikuti fashion. Jadi, butuh regulasi yang lebih cepat," ujar Dewi.
"Itu hanya selling point saja, ini loh kosmetik kita tahan 24 jam, waterproof, bahkan halal. Jadi, tidak perlu diwajibkan tapi yang ingin menyatakan produknya halal barulah mereka lakukan pengujian," jelas Dewi.
Dewi menjelaskan, dari hulu, pemerintah memaksa industri kosmetik untuk menguji bahan baku yang digunakan pada produk kosmetik.
"Bahan baku kosmetik itu 90 persen dari impor. Berarti kami harus periksa halal atau tidaknya sedari bahan tersebut dihasilkan suatu negara. Belum lagi, bahan baku kosmetik sekian ribu, tidak mungkin memeriksa satu per satu," jelas Dewi.
Belum lagi, kata Dewi, konsumen kosmetik berpotensi dibebankan biaya tambahan. Pasalnya, uji produk halal memakan biaya tambahan yang membuat biaya operasional industri kosmetik membengkak dan tentu akan berimbas kepada konsumen.
Jika dilihat lebih rinci, maka imbas kewajiban label halal pada produk kosmetik sudah memberatkan industri kosmetik sejak dari hulu sampai ke hilir.
Menurut Dewi, pemeriksaan kehalalan membuat suatu kosmetik yang masuk ke pasar Indonesia, baik kosmetik dari dalam negeri maupun luar negeri harus melalui serangkaian pengujian yang panjang hingga diberikan label halal.
"Ini membuat masyarakat harus ekstra sabar saat suatu kosmetik masuk ke pasaran karena tidak bisa langsung dibeli dan dicoba, harus uji halal dulu," imbuhnya.
Untuk diketahui, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini tengah melakukan kajian ulang terhadap UU JPH. Dari hasil kajian ulang ini, nantinya, pemerintah akan memberlakukan skema jaminan produk halal untuk tiga industri.
Masih di hulu, industri kosmetik juga diwajibkan menggunakan fasilitas pengolahan yang terjamin kehalalannya. Bahkan, ketentuan halal berlanjut sampai ke penyajian produk, distribusi, hingga akhirnya lulus uji Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM) dan mendapat label halal.
Rangkaian panjang untuk mendapatkan label halal ini, menurut Dewi, perlu diperhitungkan lagi oleh pemerintah, terlebih ketentuan tingkat-tingkat pengujian kehalalan.
Pertama, JPH akan diberlakukan di industri mamin per akhir tahun ini seiring dengan diterbitkannya revisi UU JPH.
Kedua, JPH diberlakukan di industri produk kosmetik pada 2017 dan ketiga, diberlakukan di industri obat dan alat kesehatan pada 2018 mendatang.
Pekerjaan Rumah Pemerintah
Pasalnya, Dewi mencatat, saat ini terdapat 110 ribu produk kosmetik yang terdaftar di BPOM, tetapi baru 3,63 persen atau sekitar 4 ribu produk dari 48 perusahaan kosmetik yang melakukan sertifikasi halal.
"Kalau UU ini berlaku, sisa sekitar 96 persen produk kosmetik yang belum berlabel halal mau dikemanakan? Tidak mungkin pemerintah larang produk tersebut beredar," tekan Dewi.
Jika pemerintah memaksa label halal pada kosmetik, maka Dewi menilai seharusnya pemerintah terlebih dahulu harus menyelesaikan 'pekerjaan rumahnya'.
Belum lagi, bagi produk kosmetik baru yang terus diproduksi oleh industri kosmetik tentu akan bertambah sehingga dipastikan tugas pemerintah kian bertambah untuk menguji kehalalan produk kosmetik.
Apindo: Uang Jadi Motif Sertifikasi Halal | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Pekanbaru
Ketua Apindo Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardhana mengatakan, kebijakan ini juga berpotensi menimbulkan pemalakan liar. Selain itu berpotensi adanya korupsi.
Pungutan liar tersebut, kata dia, justru muncul dari isi UU Sertifikasi Halal yang mengamanatkan masyarakat mengawasi peredaran barang halal. Negara dinilai lalai karena memberi amanat kepada pihak yang bukan seharusnya mengurusi hal tersebut.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkapkan, uang jadi motif disahkannya Undang-Undang (UU) Sertifikasi Halal. Sebab ada belasan lembaga yang akan dibentuk untuk mengawasi.
"UU ini pemalakan dan korupsi tersistematis, ada 17 lembaga dibentuk menyongsong undang-undang. Sertifikasi halal ini motifnya jelas duit bukan lindungi dari produk non halal," ujarnya di Jakarta, Rabu (5/10/2016).
Danang menegaskan hampir seluruh pemangku kepentingan di dunia industri keberatan dengan adanya UU ini. Sehingga kalau Peraturan Pemerintah (PP) dikeluarkan untuk menjalankan UU tersebut maka dikhawatirkan akan meresahkan pelaku usaha.
"Proses advokasi publik hampir 90% stakeholder keberatan, yang 10% barangkali keberatan tapi enggak berani ngomong. Kalau disahkan, meresahkan dunia industri, eksportir luar negeri akan menarik diri," pungkasnya.
"Potensi pemalakan ketika negara delegasi ke masyarakat awasi UU yang akhirnya lahir polisi swasta. Ada sekelompok masyarakat atas nama UU, sweeping barang-barang yang dijual," kata Danang.