Parlemen Uni Eropa melakukan resolusi sawit | PT Rifan Financindo Berjangka Pusat
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengisyaratkan memberlakukan sertifikat standar untuk minyak nabati terhadap perdagangan internasional. Ancaman tersebut menyusul rencana parlemen Uni Eropa melakukan resolusi sawit dan pelarangan biodiesel berbasis sawit karena dianggap menciptakan masalah deforestasi, korupsi, pekerja anak dibawah umur, hingga pelanggaran HAM.
"Untuk syarat perdagangan kayu internasional sudah disepakati dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Indonesia punya itu semua, bahkan untuk sawit. Nanti, akan kami minta sertifikat semacam itu karena persyaratannya Indonesia juga punya," ujar Enggar, Senin (17/3).
Enggar mengaku, telah melayangkan surat kepada Uni Eropa, namun belum ada balasan hingga saat ini. Tak cuma itu, ia juga mengklaim, menyampaikan secara lisan dalam pertemuan di Manila, Filipina. Ia menyebutkan bahwa pemerintah keberatan atas tuduhan tersebut.
Pemerintah menilai Resolusi Parlemen Eropa tentang "Palm Oil and Deforestation of Rainforests" yang disahkan lewat pemungutan suara pada sesi pleno di Strasbourg, 4 April 2017 lalu, mencerminkan tindakan diskriminatif terhadap usaha minyak kelapa sawit.
"Tindakan diskriminatif ini berlawanan dengan posisi Uni Eropa sebagai 'champion of open, rules based free, and fair trade'," tulis Kementerian Luar Negeri menanggapi Resolusi Parlemen Eropa tentang minyak sawit.
Menurut dia, saat ini, pemerintah masih membutuhkan kajian ilmiah untuk kelengkapan materi yang akan diolah, termasuk didalamnya kredit dampak karbon dari sawit.
Ia menilai, tuduhan parlemen Uni Eropa mengganggu perjanjian perdagangan kedua pihak. "Kalau hal itu memang terjadi, berarti tantangan perang dagang, dan bukan Indonesai yang memulai," tegas Enggar.
Berdasarkan kajian Komisi Eropa pada 2013, dari total 239 juta hektare lahan yang mengalami deforestasi secara global dalam kurun waktu 20 tahun. Di antaranya, 58 juta ha terdeforestasi akibat sektor peternakan (livestock grazing), 13 juta ha akibat penanaman kedelai, 8 juta ha dari jagung, dan enam juta ha dari minyak sawit.
Dengan kata lain, total minyak sawit dunia hanya berkontribusi kurang lebih sebesar 2,5 persen terhadap deforestasi global
Resolusi Parlemen Eropa disebut-sebut menggunakan data dan informasi yang tidak akurat dan akuntabel terkait perkembangan minyak kelapa sawit dan manajemen kehutanan di negara-negara produsen minyak sawit, termasuk Indonesia.
Resolusi itu juga melalaikan pendekatan "multistakeholders". Pemerintah Indonesia bahkan menekankan bahwa penanaman minyak sawit bukanlah penyebab utama kebotakan hutan atau deforestasi.
Mendag Tidak Takut Hadapi Resolusi Uni Eropa Soal Sawit | PT Rifan Financindo Berjangka Pusat
Sebelumnya, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi soal sawit dan pelarangan biodiesel berbasis sawit.
Resolusi tersebut dikeluarkan, karena dinilai masih menciptakan banyak masalah dari deforestasi, korupsi, pekerja anak, sampai pelanggaran HAM.
Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengaku tidak takut terkait usulan resolusi soal sawit dan pelarangan biodiesel berbasis sawit yang diusulkan oleh parlemen Uni Eropa.
Mendag Enggartiasto meyakini bahwa usulan parlemen tersebut bakal tidak disetujui oleh Presiden dan Komisi Uni Eropa.
"Apa alasannya? Tentu mereka yang tahu. Saya tidak boleh mengatakan apa-apa. Mengatakan apa ada kepentingan usaha, itu kita nuduh. Akan teapi, kalau ditanya seberapa jauh keyakinan kalau itu tidak terjadi. Kami yakin seyakin-yakinnya," ujar Enggartiasto di Kantor Kementerian Perdagangan Jakarta, Senin (17/4/2017).
Mantan Ketua Umum Realestate Indonesia (REI) ini menambahkan, Indonesia akan menggandeng Malaysia untuk menghadapi resolusi yang diusulkan dari parlemen Uni Eropa.
"Indonesia bersama dengan Malaysia yang mengalami persoalan sama. Indonesia dan Malaysia 85 persen untuk pasar dunia, dan Asia 95 persen. Bayangkan kalau Indonesia tidak kirim stok ekspornya, meninggal itu (Eropa)," tandasnya.
Menurut dia, perusahaan minyak sawit di Indonesia memiliki komitmen sama terhadap sustainability. Oleh karena itu, Dia menuntut produk minyak nabati yang ada di dunia memiliki standar keberlanjutan yang sama.
"Pada saatnya kami akan proaktif. Kami menuntut seluruh dunia vegetable oil juga punya standar yang sama. Karena semua (pengusaha) punya komitmen sama untuk sustainable (keberlanjutan)," kata dia.
Mendag Kumpulkan Pengusaha Bahas Sawit hingga Harga Minyak | PT Rifan Financindo Berjangka Pusat
Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, hari ini menggelar pertemuan dengan pimpinan dari perusahaan-perusahaan besar kelapa sawit. Pertemuan tersebut bertujuan untuk menyamakan data industri sawit untuk menidaklanjuti resolusi parlemen Uni Eropa itu.
Ada beberapa pengusaha yang hadir dalam pertemuan selama kurang lebih sejam tersebut yakni Pengusaha Rajawali Group Peter Sondakh, Franky Wijaya dari Sinarmas Group, dan Franciscus Welirang dari Salim Group.
Kemudian Managing Director Asian Agri Kelvin Tio, Chairman Musim Mas Group Bachtiar Karim, Komisaris Wilmar Group Tumanggor, Komisaris Sampoerna Group Soetjahjono Winarko, CEO Triputra Agro Persada Arif Rachmat, CEO Harita Group Gunawan Lim, dan Direktur Utama PT Astra Agro Lestari, Widya Wiryawan.
Pertemuan sendiri berlangsung selama kurang lebih satu jam secara tertutup. Dalam pertemuan tersebut ada dua isu besar yang menjadi fokus pembahasan, yang pertama adalah isu sawit dan adalah kebijakan pemerintah terkait harga minyak.
"Ada dua isu besar, pertama bagaimana hadapi berbagai tuduhan baik dari Parlemen Eropa dan berita lainnya. Kita persiapkan data yang bisa jadi masukan untuk diambil langkah berikutnya oleh pemerintah," kata Enggar di Kemendag, Jakarta, Senin (17/7/2017).
Khusus isu sawit, memang saat ini Produk sawit Indonesia tengah jadi sorotan. Pasalnya resolusi yang dikeluarkan oleh Parlemen Uni Eropa, dikaitkan dengan isu pelanggaran HAM, korupsi, pekerja anak, dan penghilangan hak masyarakat adat.
Sementara hal lain yang dibahas, menurut Enggar, yakni terkait kebijakan pemerintah memastikan harga minyak goreng bisa tetap stabil di pasar, yakni sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp 11.000/liter, untuk minyak goreng kemasan sederhana.
"Kedua soal minyak goreng untuk masyarakat banyak. Kita ada kesepakatan yang efektif berlaku 10 April lalu, bahwa 3 komoditas dengan harga eceran tertinggi, salah satunya minyak goreng," kata Enggar.