Terbaru

4 Konglomerat Lebih Kaya dari 100 Juta Penduduk Indonesia

Indonesia memiliki ketidaksetaraan terburuk keenam di dunia | PT Rifan Financindo Berjangka Pusat

PT Rifan Financindo Berjangka Pusat

Kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin di Indonesia dinilai paling lebar dari seluruh negara di Asia Tenggara. Bahkan kekayaan empat konglomerat lokal jauh lebih besar daripada 100 juta penduduk miskin di Indonesia

Oxfam menuding "fundamentalisme pasar" yang telah membiarkan orang-orang terkaya untuk mengambil sebagian besar keuntungan selama hampir dua dekade pertumbuhan ekonomi yang kuat. Mereka menguasai kepemilikan tanah dan memperluas ketidaksetaraan gender.

Hal itu terungkap dalam laporan Kesenjangan di Indonesia berjudul Menuju Indonesia yang Lebih Setara” dari lembaga Oxfam yang disampaikan di Jakarta, Kamis (23/2).  Laporan Oxfam juga menyebut Indonesia, dengan populasi lebih dari 250 juta, memiliki ketidaksetaraan terburuk keenam di dunia. Sementara di Asia, hanya Thailand yang bisa menandingi Indonesia.

Menurut Oxfam,  pengembalian investasi kekayaan hanya dilakukan  salah satu dari empat terkaya, akan menghapuskan kemiskinan dalam setahun. Empat konglomerat terkaya itu menurut daftar Forbes, antara lain :  taipan rokok Budi Hartono, Michael Hartono, dan Susilo Wonowidjojo.

Laporan itu menyatakan kemiskinan dengan kategori pendapatan kurang dari US$1,90 per hari telah menurun dengan tajam sejak tahun 2000. Tetapi 93 juta penduduk Indonesia masih hidup dengan pendapatan kurang dari US$3,10, yang didefinisikan oleh Bank Dunia sebagai garis kemiskinan moderat.

Menurut laporan tersebut, pada tahun 2016, sebanyak 1% dari populasi orang terkaya memiliki hampir setengah (49%) dari total kekayaan di Indonesia. 

Hanya dalam waktu satu hari, sekelompok orang kaya Indonesia bisa mendapatkan bunga dari kekayaannya sebanyak 1.000 kali lebih dari nilai kebutuhan dasar yang diperlukan kelompok orang paling miskin Indonesia untuk sepanjang tahun.

Oxfam menyatakan ketidakstabilan sosial dapat meningkat jika pemerintah tidak mengatasi kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa mengurangi ketidaksetaraan adalah prioritas utama bagi pemerintah.

Untuk meningkatkan pendapatan pajak yang memicu rendahnya  anggaran  layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan, Indonesia memerlukan tarif pajak lebih tinggi pada kelompok berpendapatan tinggi.

Sebuah survei Bank Dunia 2015 menunjukkan perhatian publik skala tinggi terhadap kesenjangan kekayaan. Laporan itu menyatakan  pengumpulan pajak Indonesia adalah  kedua terendah di Asia Tenggara dan sistem perpajakan Indonesia gagal untuk memainkan peran penting dalam mendistribusikan ulang kekayaan.

Harta 4 Orang Terkaya Setara Dengan Harta 100 Juta Orang Miskin | PT Rifan Financindo Berjangka Pusat

PT Rifan Financindo Berjangka Pusat

Jumlah kekayaan empat orang super kaya Indonesia sama dengan kekayaan 100 juta orang termiskin.

Begitu antara lain isi laporan tentang ketimpangan di Indonesia yang dirilis lembaga Oxfam yang bekerja sama dengan International NGO Forum on Indonesia Development atau INFID, di Jakarta, kemarin. Laporan itu diberi judul "Menuju Indonesia yang Lebih Setara". Hadir antara lain Direktur Advokasi dan Kampanye Oxfam lntemasional Steve Price Thomas dan Direktur INFID Sugeng Bahagijo. Turut hadir Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri. 

Ini warning bagi pemerintah. Kesenjangan sosial di Indonesia saat ini sudah masuk kategori sangat parah. Posisinya Indonesia ada di peringkat ke enam dari sepuluh negara dengan kesenjangan ekonomi terburuk. Gambaran tingginya kesenjangan ekonomi itu seperti ini: empat orang terkaya di Tanah Air memiliki harta lebih banyak dari jumlah total kekayaan 100 juta orang termiskin di Indonesia. 

Oxfam juga menemukan 49 persen dari total kekayaan Indonesia dikuasai hanya oleh 1 persen warga terkaya— termasuk 4 milyuner yang disebutkan sebelumnya. Sisanya harus dibagi-bagi dengan 51 persen sisanya, tentu dengan nominal yang tidak merata. "Dalam 20 tahun terakhir kesenjangan antara kaum super kaya dan penduduk lainnya di lndonesia tumbuh lebih cepat dibanding di negara-negara lain di Asia Tenggara," kata Thomas. 

Dalam pemaparannya, Thomas menyampaikan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia memang cukup stabil. Proporsi masyarakat yang hidup dalam kemiskinan ekstrem telah berkurang hingga di kisaran 8 persen. Namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu belum diimbangi pendapatan yang lebih merata. Contohnya ya itu tadi. Total kekayaan empat orang terkaya di Indonesia atau sekitar 25 miliar dolar AS setara dengan kekayaan 40 persen penduduk miskin Indonesia. 

Menurut Thomas, Presiden Jokowi memiliki kesempatan untuk membuktikan Indonesia dapat menjadi negara yang memimpin perjuangan global melawan ketimpangan. Dia menyarankan sejumlah cara agar pemerintah mengakhiri konsentrasi kekayaan di tangan sekelompok orang dan perusahaan. Caranya, antara lain dengan memberdayakan perempuan serta masyarakat miskin untuk berpartisipasi dalam kegiatan perokonomian. Mereka juga harus mendapatkan layanan dan akses untuk mata pencaharian. "Masyarakat dapat pendidikan lebih baik, pekerjaan lebih baik, income lebih baik," kata dia. 

Penyebab kesenjangan sosial ini kompleks dan berlapis-lapis. Mulai dari penyebab struktural hingga dampak kebijakan pemerintah setelah krisis moneter 1997. Mereka yang memiliki akses puncak rantai ekonomi dipastikan selalu bisa mendapatkan bagian terbesar dari pertumbuhan pasar. Selain itu, ada juga ketimpangan gender, salah satu bentuk kesenjangan yang paling tua, yang masih kental di Indonesia. 

Infrastruktur yang tidak merata juga berperan dalam melanggengkan kesenjangan. Mereka yang tinggal di daerah dengan jalanan rusak, tidak berlistrik, dan lain-lain tentu kesulitan memperbaiki nasib. Kepemilikan tanah pun tak kalah penting, ketika sebagian besar ruang di Indonesia berada di bawah kekuasaan perusahaan besar ataupun orang kaya. Manfaatnya hanya dirasakan oleh mereka, ketimbang tersebar ke masyarakat lain yang juga membutuhkan. 

Menurut Sri Mulyani, pemerintah telah mengupayakan berbagai cara untuk menekan kemiskinan dan memperkecil ketimpangan. Salah satunya dengan menerapkan pajak progresif alias bertingkat atas pendapatan masyarakat. Jadi, semakin tinggi pendapatan seseorang maka tarif pajak yang diterapkan pun semakin besar. Sebaliknya, masyarakat berpendapatan minim berpotensi tidak membayar pajak dengan adanya skema pendapatan tidak kena pajak (PTKP). 

Ke depan, Sri Mul optimis keadaan diyakini akan lebih baik. Sebab, berbagai negara telah sepakat melakukan pertukaran data keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) untuk keperluan perpajakan. Adapun Indonesia akan secara resmi mengikuti program tersebut mulai 2018 mendatang. Untuk menekan kemiskinan dan ketimpangan, Sri Mulyani menambahkan, pemerintah juga sudah memperbesar alokasi anggaran untuk pemerintah daerah (pemda). Anggaran untuk pemda dipatok setara dengan anggaran Kementrian dan Lembaga (K/L). Bahkan nilainya lebih tinggi Rp 1 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017. Anggaran tersebut diharapkan bisa membantu daerah dalam mengentaskan kemiskinan.

Menurut Sri Mulyani, pemerintah telah mengupayakan berbagai cara untuk menekan kemiskinan dan memperkecil ketimpangan. Salah satunya dengan menerapkan pajak progresif alias bertingkat atas pendapatan masyarakat. Jadi, semakin tinggi pendapatan seseorang maka tarif pajak yang diterapkan pun semakin besar. Sebaliknya, masyarakat berpendapatan minim berpotensi tidak membayar pajak dengan adanya skema pendapatan tidak kena pajak (PTKP). 

Dengan kebijakan ini, masyarakat berpenghasilan tinggi semestinya berkontribusi lebih kepada penerimaan negara yang akan dimanfaatkan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Meski begitu, Sri Mulyani memahami, kebijakan itu tak lantas menekan kemiskinan dan ketimpangan. Pangkal soalnya, orang dengan penghasilan tinggi mudah menghindari pajak dengan memindahkan hartanya ke negara suaka pajak (tax haven). "10 tahun lalu saya jadi Menkeu, saya tahu ada banyak wajib pajak Indonesia lari dan sembunyikan (hartanya) di banyak negara. Waktu pertemuan, mereka senyum kepada saya tapi (dalam hati bilang) 'kasian deh kamu'," kata Sri Mulyani. 

Direktur INFID Sugeng Bahagijo mengatakan melebarnya kesenjangan ini adalah ancaman serius untuk Indonesia ke depan. Karena, jika tidak segera diatasi, upaya keras pemerintah menurunkan kemiskinan akan mengalami hambatan. "Ini bisa menyebabkan ketidakstabilan di masyarakat," kata Sugeng. 

Sugeng menyarankan pemerintah melaksanakan dua hal besar dan utama untuk mengatasi ketimpangan tersebut. Pertama, memperbarui kebijakan pajak sesuai dengan potensi ekonomi dan prinsip pembagian beban dan manfaat yang adil. Kedua, memulihkan dan memberikan penekanan yang lebih atas pembangunan sumber daya manusia dan ketenagakerjaan. 

Harta 4 Orang Terkaya Indonesia Lebih Besar dari 100 Juta Rakyat Termiskin | PT Rifan Financindo Berjangka Pusat

PT Rifan Financindo Berjangka Pusat

Sebuah laporan mengenai ketimpangan di Indonesia memperlihatkan bahwa empat pria terkaya di negara ini memiliki harta lebih besar dibandingkan yang dimiliki 100 juta rakyat termiskin.

Lembaga itu menyalahkan "fundamentalisme pasar" yang telah memungkinkan orang-orang terkaya untuk mendapatkan sebagian besar keuntungan dari pertumbuhan ekonomi yang kuat, konsentrasi kepemilikan lahan dan ketidaksetaraan gender yang mengakar selama hampir dua dekade terakhir.

Pengembalian investasi kekayaan hanya satu dari keempat orang terkaya itu, yang menurut daftar orang-orang kaya Forbes termasuk taipan-taipan rokok Budi Hartono, Michael Hartono dan Susilo Wonowidjojo, dapat menghapus kemiskinan ekstrem dalam setahun.

Laporan yang dirilis hari Kamis (22/2) oleh Oxfam itu mengatakan bahwa Indonesia, dengan populsi lebih dari 250 juta, ada di peringkat enam dalam hal ketidaksetaraan terburuk di dunia. Di wilayah Asia, hanya Thailand yang lebih tidak setara.

Presiden Joko "Jokowi" Widodo telah mengatakan bahwa pengurangan ketidaksetaraan adalah salah satu prioritas utama pemerintahannya. Sebuah survei Bank Dunia tahun 2015 menunjukkan tingginya tingkat keprihatinan publik mengenai kesenjangan kekayaan.

Laporan itu mengatakan kemiskinan ekstrem, yakni pendapatan harian kurang dari US$1.90 atau Rp 25.000, telah turun drastis sejak tahun 2000 tapi 93 juta rakyat Indonesia masih hidup dengan kurang dari Rp 28.000 per hari, yang masuk ke dalam garis kemiskinan moderat menurut definisi Bank Dunia.

Oxfam mengatakan ketidakstabilan sosial dapat meningkat jika pemerintah tidak menanggulangi kesenjangan antara yang kaya dan miskin.

Laporan itu mengatakan pengumpulan pajak Indonesia adalah yang terendah kedua di Asia Tenggara dan sistem pajak "gagal memainkan peran penting dalam mendistribusikan kembali kekayaan."

Mengatasi pengemplangan pajak juga penting, kata Oxfam, mengutip data Dana Moneter Internasional yang menunjukkan bahwa $101 miliar mengalir dari Indonesia ke surga-surga pajak tahun 2015. 

Untuk meningkatkan pengumpulan pajak, agar anggaran rendah untuk layanan-layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan dapat ditingkatkan, Indonesia memerlukan tingkat pajak yang lebih tinggi untuk kelompok-kelompok berpendapatan tertinggi, pajak warisan yang lebih tinggi dan pajak kekayaan baru, menurut laporan itu.