5.953 Megawatt pembangkit EBT yang telah beroperasi | PT Rifan Financindo Berjangka
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari Unsur Pemangku Kepentingan Tumiran menjelaskan, rumusan itu muncul setelah sidang ke-20 DEN dilakukan Senin pekan ini. Menurutnya, anggota sidang menyepakati bahwa penjualan listrik dari pembangkit EBT ditetapkan sebesar 85 persen dari Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik regional.
Pemerintah berencana merancang formulasi baru terkait tarif listrik yang dihasilkan dari pembangkit Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Rencananya, tarif listrik ini akan dipatok berbeda di setiap provinsinya.
Tumiran mengatakan, formulasi ini merupakan opsi yang terbaik. Karena jika tarif EBT ditetapkan sesuai BPP nasional, maka pengembangan pembangkit EBT di beberapa daerah tidak akan mencapai keekonomian.
Lebih lanjut ia menuturkan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta PT PLN (Persero) sudah menyetujui formulasi tarif ini. Namun menurutnya, ada kemungkinan tarif EBT di pulau Jawa akan sama dengan BPP listrik nasional.
"Jawa bisa diperlakukan BPP nasional. Kalau BPP regional itu lebih rendah daripada BPP Nasional maka diberlakukan berdasarkan BPP nasional," terangnya.
Dalam hal ini, ia memberi contoh BPP Nusa Tenggara Timur sebesar Rp2.500 per Kilowatt-Hour (KWh) yang jauh berbeda dengan BPP nasional sebesar Rp980 per KWh.
"Bagaimana sekarang, keekonomian energi baru bisa terukur. Untuk itu diberi urang, di mana harga EBT tidak sama tapi disesuaikan dengan potensi EBT agar bisa memasok ke suatu wilayah. Harga di setiap daerah dibuat tidak sama," jelas Tumiran di Kementerian ESDM, Senin (23/1).
Hingga November 2016, terdapat 5.953 Megawatt pembangkit EBT yang telah beroperasi. Angka ini mengambil porsi 11,02 persen dari kapasitas pembangkit terpasang di Indonesia sebanyak 54.015 MW.
Melengkapi ucapan Tumiran, anggota DEN Achdiat Atmawinata menuturkan, kebijakan ini baik untuk mendorong porsi EBT di dalam bauran energi (energy mix) tahun 2025 sebesar 23 persen sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Dengan sisa delapan tahun, menurutnya Indonesia harus segera melakukan percepatan.
"Tahun 2025 sebentar lagi, dan tentunya suplai ini harus disinergikan dengan demand side. Dengan pengembangan EBT, kami harap industri di luar Jawa juga bisa bertumbuh," katanya.
Sementara itu, Indonesia setidaknya harus meningkatkan penggunaan listrik EBT menjadi 10.600 MW hingga akhir 2017 jika ingin target energy mix tercapai. DEN meramal, jika tak ada perbaikan kebijakan, maka realisasi listrik EBT hanya 9.100 MW di tahun 2017.
DEN: Target Listrik 35 Ribu MW Harus Selesai Tepat Waktu | PT Rifan Financindo Berjangka
Dewan Energi Nasional (DEN) kemarin menggelar sidang ke-20 di Gedung Heritage, Kantor Kementerian ESDM, Jakarta. Sidang yang dipimpin langsung Ketua Harian DEN Ignasius Jonan itu, menghasilkan beberapa keputusan. Di antaranya, menegaskan target pembangunan listrik 35 ribu megawatt (MW) tidak berubah
Penegasan tersebut disampaikan DEN, sebab dalam sidang DEN sebelumnya pernah disimpulkan dari program 35 ribu MW hanya bisa tercapai 20 ribu MW. Menurut Tumiran, penghitungan tersebut bukan evaluasi target, namun hanya hitungan dari hasil evaluasi bersama pemerintah.
"Target yang ditetapkan dalam RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) tidak boleh bergeser. Pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW harus diselesaikan tepat waktu," kata Anggota DEN, Tumiran.
Anggota DEN lain Rinaldy Dalimi menerangkan, pihaknya menetapkan target 35 ribu MW terus dikejar. Tujuannya agar Indonesia bisa memiliki pembangkit listrik berkapasitas total 114 Gigawatt (GW) dalam 8 tahun mendatang. Sebab, jika tidak selesai pada 2019, maka target tersebut tidak bisa tercapai pada 2025.
"Pasokan listrik yang lebih banyak diperlukan untuk membantu pertumbuhan industri, utamanya yang berada di luar Jawa. Maka dari itu, pemerintah dan DEN meminta PT PLN (Persero) melakukan langkah strategis demi mempercepat hal ini," tegasnya.
Dampaknya, lanjut Rinaldy, pertumbuhan ekonomi akan terganggu jika suplai listrik tidak sesuai dengan jadwal.
"Yang selama ini kami temukan, masalah finansial memang menghambat proyek pembangkit. Namun, pembebasan lahan adalah faktor utama. Ini perlu diakomodasi dengan baik," ucapnya.
Untuk percepatan, Rinaldy meminta PLN mengurangi periode antara kewajiban pembiayaan (financial closing) dengan selesainya konstruksi pembangkit dari posisi saat ini selama tiga tahun. Menurutnya, pembangunan bisa berjalan signifikan jika pemerintah bisa menanggulangi masalah pembebasan lahan.
Anggota DEN lainnya Syamsir Abduh menimpali, lebih baik bagi pemerintah untuk kelebihan suplai listrik dibanding kekurangan persediaan.
Namun, lanjut Syamsir, angka take or pay bisa diminalisasi setelah PLN menyampaikan bahwa kemajuan 35 ribu MW masih sesuai dengan periode pelaksanaanya. "Program 35 ribu MW ini masih sesuai dengan kurva S-nya, jadi artinya masih positif. Megaproyek ini bukan sekadar target, namun kewajiban pemerintah," jelasnya.
Menurutnya, biaya yang harus ditanggung PLN untuk membayar kelebihan listrik (take or pay) pasti akan lebih kecil dibanding menyediakan pembangkit pembantu seperti Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) terapung.
Sementara itu, terdapat pembangkit dengan kapasitas 17.492 MW yang telah memasuki masa perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) dan 18.135 MW yang belum memasuki masa PPA.
Menurut data Kementerian ESDM pada kuartal III-2016, pembangkit yang telah beroperasi dari megaproyek ini baru sebesar 164 MW atau 0,46 persen dari target 2019 sebesar 35.627 MW.
Tarif EBT di Daerah Disesuaikan dengan BPP Regional | PT Rifan Financindo Berjangka
Anggota Dewan Energi Nasional(DEN) Tumiran menyatakan pemerintah dalam upaya memanfaatkan energi baru terbarukan (EBT) secara transparan dan terukur keekonomiannya. Ia membantah ada isu yang mengataka pemerintah seolah tidak mendorong penggunaan EBT untuk listrik dengan memodifikasi tarif.
Ia mencontohkan upaya pemerintah yakni mengatur harga tarif ebt di setiap daerah, berbeda. Harganya, jelas Tumiran, disesuaikan dengan potensi energi ebt di wilayah setempat.
"Yang menjadi isu selama ini seolah-olah pemerintah tidak mendorong ebt dengan memodifikasi isu tarif itu tidak benar," kata Tumiran di Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, Senin (23/1).
Pemerintah sesuai rencana umum energi nasional tetap pada target pemanfaatan EBT minimal 23 persen pada 2025 untuk sektor kelistrikan nasional. Dalam data DEN hingga akhir 2016, capaian EBT baru 8,8 gigawatt (GW) dan estimasi capaian 2017 adalah 9,1 GW, sementara seharusnya capaian EBT sebesar 10,6 GW (11 persen) berdasarkan target RUEN.
Ia menjelaskan di setiap daerah harga ebt maksimal 85 persen dari Biaya Pokok Produksi (BPP) regional. Ia mengungkapkan dalam penetapan tarif listrik EBT di daerah tidak bisa disama ratakan menggunakan Biaya Pokok Produksi (BPP) Nasional 2016 sebesar Rp 980 per kWh.
"Ini supaya teman teman yang investasi energi terbarukan bisa mengupayakan menekan harga, mengefisienkan skala produksi, dan skenaro investasi untuk yang lebih murah," ujar Tumiran.