Terbaru

PPN Rokok Naik Jadi 9,1 Persen

Sebelumnya, pajak pertambahan nilai rokok dipatok 8,7 persen | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Bandung

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Bandung

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memutuskan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan hasil tembakau, dari yang semula sebesar 8,7 persen menjadi 9,1 persen. Aturan ini efektif berlaku 1 Januari 2017.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengklaim, pemerintah dalam menetapkan besaran tarif kenaikan tersebut telah mengajak para pemangku kepentingan terkait.

“Kami kalau buat kebijakan, kami diskusi. Diskusi itu ada aspirasi, ada juga maunya pemerintah. Bukan dia mati di situ,” jelas Suahasil, usai rapat pimpinan di kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin 9 Januari 2017.

Keputusan ini telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil Tembakau. 

“Pokoknya yang diputuskan terakhir, menjadi 9,1 persen. Karena kalau dipungut secara final, artinya di tingkat produsen tarifnya bukan 10 persen, tetapi 9,1 persen,” katanya. 

Berdasarkan hasil diskusi, bendahara negara memutuskan untuk menaikkan tarif pajak PPN untuk hasil tembakau sebesar 9,1 persen. Namun, mengenai potensi tambahan anggaran yang masuk ke kas negara, Suahasil enggan membeberkan secara rinci.

Sri Mulyani Tetapkan PPN Rokok 9,1 Persen Tahun Ini | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Bandung

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Bandung


Seperti dikutip dari situs resmi Kementerian Keuangan, Senin, 9 Januari 2016, penetapan tarif tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil Tembakau.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menetapkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) hasil tembakau sebesar 9,1 persen tahun ini. Tarif tersebut naik dibandingkan 2016 lalu yang dipatok sebesar 8,7 persen dan dibandingkan 2015 lalu yang dipatok sebesar 8,4 persen.

Sebelumnya, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Willem Petrus Riwu mengatakan, rencana normalisasi pajak pertambahan nilai (PPN) hasil tembakau menjadi persen perlu dikaji lebih lanjut. Rencana normalisasi itu dinilai akan semakin membebani industri.

Willem mengatakan, industri rokok sudah mengalami kenaikan rata-rata cukai menjadi 10,54 persen pada 2017. Bila ada pengerekan lagi dalam bentuk PPN, kata dia, beban industri rokok bakal bertambah berat. Dari tahun ke tahun, volume produksi rokok pun sudah semakin menurun.

Saat ditemui di kantornya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, kementeriannya ingin tarif PPN hasil tembakau kembali ke ketentuan umum. Rencananya, pemerintah menormalisasi PPN hasil tembakau menjadi 10 persen secara bertahap hingga 2019.

Hasil tembakau yang dimaksud adalah sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya. Menurut peraturan tersebut, PPN atas penyerahan hasil tembakau itu dihitung dengan menerapkan tarif efektif dikalikan dengan nilai lain. Beleid tersebut berlaku efektif pada 1 Januari 2017.

Namun, Suahasil enggan menjelaskan secara detail kapan tarif PPN hasil tembakau sebesar 10 persen akan ditetapkan. "Sekarang adalah 9,1 persen, final. Ya sudah, itu aja dulu. Itu kan baru diputuskan, baru berlaku. Arahnya tetap ke normal (pada 2019). Kapan, nanti kami diskusikan," katanya.

Ini yang Harus Dilakukan Pemerintah untuk Cegah Rokok Ilegal | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Bandung

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Bandung


Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) mengapresiasi usaha jajaran bea dan cukai untuk terus memerangi rokok ilegal.

Menurutnya, sudah tiga tahun ini produksi rokok cenderung stagnan. Maraknya rokok ilegal disebabkan semakin mahal harga rokok legal karena terdampak naiknya cukai. Sebab itu, semakin besar insentif produsen rokok ilegal untuk beroperasi.

“Sejalan dengan terus ditingkatkannya usaha pemberantasan rokok ilegal, kebijakan cukai yang berkesinambungan serta menjamin keberlangsungan industri juga penting,” ujar Ketua Gaprindo Muhaimin Moefti dalam keterangannya, Minggu malam(8/1).

Dia menjelaskan, untuk membantu memperlambat peningkatan rokok ilegal, faktor lain perlu diperhatikan pemerintah adalah kebijakan cukai yang diambil. Kenaikan cukai yang terlalu besar akan memicu maraknya perdagangan rokok ilegal.

“Saat harga rokok legal bisa mencapai Rp 18 ribu per bungkus, rokok ilegal bisa dijual di kisaran Rp 8.000. Ini karena rokok ilegal tidak membayar cukai,” jelas Moefti.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan secara resmi mengumumkan turunnya penerimaan cukai tahun 2016 yang dilihat dari hasil realisasi sementara APBN-P 2016. Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengatakan penerimaan cukai 2016 mengalami shortfall Rp 4,6 triliun dibanding target APBN-P 2016.

Kemenkeu mencatat total penerimaan cukai untuk sementara mencapai Rp 143,5 triliun atau setara dengan 92,7 persen dari target APBN-P 2016 sebesar Rp 148,1 triliun. Penyebab turunnya penerimaan cukai adalah penurunan produksi hasil tembakau dari 348 miliar batang pada 2015 menjadi 342 miliar batang di tahun 2016, turun sebesar 1,7 persen.

Selain itu, Moefti, meminta pemerintah memperhatikan kenaikan cukai tidak jauh dari angka inflasi yakni sebesar 6-7 persen.

“Bila mencapai 10 persen, ini menjadi beban buat industri,” imbuhnya.