Pemerintah menekan harga gula yang berakibat petani tebu merugi | PT Rifan Financindo Berjangka
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Sumitro Samadikun, mengungkapkan berkurangnya petani tebu karena tingkat rendemen tebu yang sangat rendah. Pabrik Gula (PG) yang saat ini ada, sebagian besar merupakan warisan kolonial Belanda.
"Di Indonesia tingkat rendemen dari PG milik BUMN hanya 6 sampai 7. Ini jauh di bawah rendemen PG milik swasta sebesar 9-11. Sementara PG di Thailand bahkan rata-rata rendemennya 14. Sudah begitu bagi hasilnya di sana 70% petani, 30% pabrik," jelas Sumitor
Keuntungan bertanam tebu yang tak seberapa mendorong petani mengalihkan lahan tebunya untuk ditanami komoditas lain. Bahkan di beberapa daerah, aera tanam tebu sudah berubah jadi komplek perumahan.
Menurut dia, ketimbang pemerintah menekan harga gula yang berakibat petani tebu merugi, sebaiknya pemerintah merevitalisasi atau membangun pabrik gula baru milik BUMN, agar tingkat rendemen bisa naik.
Dia mengasumsikan, dengan produksi tebu petani per hektar maksimal sebesar 100 ton, maka dengan tingkat rendemen rata-rata nasional saat 6, maka didapat gula sebesar 6 ton. Setelah dibagi dengan pabrik gula dengan rasio 64:36, maka gula yang diperoleh petani adalah 3,84 ton.
"Sebanyak 3,84 ton ini dikalikan dengan harga lelang sekarang Rp 12.000/kg, petani mendapatkan pendapatan dari gula Rp 48 juta. Nah sementara modal tanam tebu, biaya tembang dan angkut, pupuk sampai sewa tanah paling murah totalnya Rp 45 juta. Untungnya berapa itu, malah ada yang sampai biayanya Rp 50 juta," jelas Sumitro.
di Thailad, dengan tingkat produksi lahan tebu yang sama sebesar 100 ton tebu per hektar, namun memiliki rendemen 14. Maka setelah bagi hasil dengan rasio 70:30, petani akan mendapatkan gula sebanyak 9,8 ton.
"Artinya kalau modal kita sama dengan petani Thailand yaitu Rp 45 juta, maka BEP (balik modal) mereka hanya setiap kilogram gula hanya sekitar Rp 4.500. Lah kita di Indonesia petani tebu BEP hampir Rp 12.000 setiap kilonya," pungkas Sumitro.
"Tanam tebu itu susah. Waktunya juga setahun lebih, beda dengan tanam padi 3 bulan sudah panen. Lebih baik pemerintah bantu petani tingkatkan rendemen, itu pabrik-pabrik sudah tua tidak pernah diganti. Kalau rendemen tinggi, otomatis harga gula bisa otomatis murah," ujar Sumitro.
Sebagai informasi, rendemen tebu sendiri adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Bila dikatakan rendemen tebu 10%, artinya ialah bahwa dari 100 kg tebu yang digilingkan di Pabrik Gula akan diperoleh gula sebanyak 10 kg.
Penetapan Harga Gula Dianggap Terlalu Rendah | PT Rifan Financindo Berjangka
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Nur Khabsyin mengatakan, seharusnya pemerintah dalam menetapkan HET tersebut harus memasukkan perhitungan besaran harga pokok penjualan (HPP) ditambah margin distribusi.
Dewan Pimpinan Nasional Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyatakan, penetapan harga eceran tertinggi (HET) gula kristal putih atau gula konsumsi Rp12.500 per kilogram (kg) dianggap terlalu rendah, karena ditetapkan berdasarkan harga gula internasional.
Dasar penentuan HPP mencakup biaya pokok produksi (BPP) ditambah margin untuk para petani. Tercatat, pada 2017 BPP tersebut mengalami kenaikan komponen biaya kerja di kebun dan transportasi dan berada pada kisaran Rp10.000 per kg, sementara untuk HPP sebesar Rp11.500 per kilogram.
Petani tebu dan Kemdag beda data soal pasokan gula | PT Rifan Financindo Berjangka
Sektretaris Jenderal Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (Aptri) M. Nur Khabsyin mengatakan, persediaan gula dari produksi giling tahun 2016 ada 800.000 ton ditambah sisa impor tahun 2016 sebesar 1 juta ton. Persediaan ini dinilai masih sangat cukup, bahkan lebih sampai dengan musim giling tahun 2017 yang dimulai pada bulan Mei 2017. "Distribusi gula yang diolah oleh perusahaan rafinasi berpotensi lebih dari jumlah yang diimpor karena bisa saja gula rafinasi ikut dipasarkan," ujarnya Rabu, (18/1).
Keputusan Kementerian Perdagangan (Kemdag) membuka izin impor gula mentah sebanyak 400.000 ton untuk diolah dalam negeri menjadi gula konsumsi mendapat protes dari petani tebu. Pasalnya, kebutuhan gula konsumsi (GKP/gula kristal putih) di dalam negeri sepanjang tahun 2017 dinilai sudah tercukupi dari persediaan dan produksi lokal. Justru impor gula yang dibuka pemerintah membuat harga gula ditingkat petani berpotensi jatuh karena kelebihan pasokan gula di dalam negeri.
Aptri juga menuding, data impor untuk gula konsumsi yang disampaikan Kemdag tidak lengkap. Data impor tahun 2016 yang diterima Aptri dari Kemdag adalah PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) 300.000 ton, Perum Bulog 267.000 ton ditambah 100.000 ton white sugar, PTPN/RNI 114.000 ton, Comisioning test untuk Pabrik Gula (PG) KTM PG Dompu PG glenmore 270.000 ton, untuk PG gorontalo 25.000 ton, PG Adi karya gemilang 50.000 ton. Masih di tambah gula untuk operasi pasar oleh inkopol inkopkar dan lain-lain sebesar 400.000 ton. Sehingga total impor untuk konsumsi tahun 2016 adalah 1,426 juta ton.
Khabsyin menjelaskan, data produksi gula tahun 2016 sebesar 2,1 juta ton dan kebutuhan gula sebesar 3,2 juta ton yg dibuat dasar perhitungan impor tidak valid. Menurut perhitungan Aptri yang benar adalah produksi gula tahun 2016 adalah 2,2 juta ton. Sedangkan kebutuhan sebesar 2,7 juta ton. Perhitungannya, konsumsi gula per orang per tahun 12 kilogram (kg) dikali jumlah penduduk 250 juta lalu dikurangi 10%. "Pengurangan 10% karena tidak semua orang minum gula dan adanya produk mamin impor," tambahnya.
Terkait dengan penetapan harga eceran tertinggi (HET) gula sebesar Rp 12.500 per kg, Aptri menilai kalau dasar perhitungannya terlalu rendah. Mestinya dasar menentukan HET adalah dari besaran harga pokok penjualan (HPP) ditambah margin distribusi. Sedangkan Dasar penentuan HPP adalah dari biaya pokok produksi (BPP) ditambah margin untuk petani. Untuk BPP tahun 2017 ada kenaikan pada komponen biaya tenaga kerja di kebun dan transportasi akibat kenaikan BBM dan kenaikan harga barang.
Karena itu, Aptri menyimpulkan kalau data produksi yang direndahkan dan data kebutuhan yang ditinggikan hanya sebagai alasan bagi Kemdag untuk menaikkan jumlah impor.
Maka, HET yang realistis adalan Rp 14.000 karena BPP saat ini Rp 10.000 sedangkan HPP Rp 11.500. Menurutnya, yang penting ditetapkan sebetulnya adalah HPP gula tani dalam rangka untuk penyanggaan harga kepada petani bukan penentuan HET. Ia mengklaim masyarakat tidak keberatan bila harga gula dikisaran Rp14.000 karena gula termasuk kebutuhan pokok tapi tidak yang paling utama. Seharusnya, banyak alternatif pemanis selain gula dan sebagian masyarakat juga tidak mengonsumsi gula.