Terbaru

60 Persen Tenaga Kerja RI Cuma Lulusan SD dan SMP

Daya saing jadi kunci mengejar persaingan di era MEA | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Semarang

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Semarang

Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, total tenaga kerja di Indonesia saat ini mencapai 125 juta orang. Namun, 60 persen dari total tenaga kerja tersebut hanya lulusan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.

Hanif menjelaskan, minimnya keterampilan dan kompetensi yang dimiliki tenaga kerja Indonesia, membuat kualitas tenaga kerja dalam negeri semakin sulit bersaing, terutama dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

“Kalau lulusan SD dan SMP, itu masuk ke pasar kerja sangat sulit,” ujar Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin 23 Januari 2017.

Hanif memandang, selama ini sektor pendidikan di Indonesia hanya terfokus pada sektor formal. Pada dasarnya, permasalahan tenaga kerja bukan hanya soal ketersediaan lapangan pekerjaan, namun bagaimana meningkatkan pelatihan bagi tenaga kerja.

“Penduduk China 1,4 miliar, tapi mereka punya perguruan tinggi 2.000. Di Indonesia, penduduk 255 juta, perguruan tinggi kita 4.000. Dua kali lipat. Maka dari itu, kami akan meningkatkan mutu pelatihan, agar mereka punya skill (kemampuan),” ujarnya

Seperti diketahui, ada delapan profesi yang dipertandingkan dalam era MEA. Seperti Arsitek, Insinyur, Akuntan, Dokter Gigi, Geologis, Praktisi Medis, Perawat, dan Pemandu Wisata. Sektor-sektor ini yang akan digenjot oleh pemerintah.

“Kita butuh daya saing yang sesuai dengan area kompetisi di pasar kerja. Ini menjadi salah satunya, bagaimana kami akan meningkatkan akses dan mutu pelatihan tenaga kerja,” katanya menambahkan.

Kampus lebih banyak dari China, tapi pekerja RI mayoritas lulusan SD | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Semarang

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Semarang

Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri menyebut, sekitar 60 persen tenaga kerja atau angkatan kerja di Indonesia berpendidikan rendah yakni hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Rendahnya pendidikan, membuat 125 juta angkatan kerja sulit untuk mendapat pekerjaan.

Menurut Hanif, jumlah perguruan tinggi atau kampus di Indonesia lebih banyak dibandingkan dengan China. Indonesia mempunyai 4.000 perguruan tinggi dan China hanya 2.000 perguruan tinggi.

"Masuk ke pasar kerja susah, mau wirausaha enggak ada modal, mau masuk SMK ketuaan, pilihannya masuk ke informal atau masuk ke padat karya itu situasinya kayak gitu," kata Hanif Dhakiri dalam acara PKB bertema Sara, Radikalisme dan Prospek Ekonomi di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Senin (23/1).

"Jumlah penduduk China yang sebanyak Rp 1,4 miliar, perguruan tingginya ada 2.000. Kita dengan 225 juta penduduk, punya 4.000 perguruan tinggi. Jadi ini dua kali lipatnya," ujar dia.

"Saya khawatirkan yang middle up, dari segi SDM bisa diisi TKA dan mereka legal masuk ke area terampil," tutupnya.

Hanif mengkritik konsep pendidikan di Indonesia yang tak mengejar keterampilan, hanya pendidikan formal saja. Padahal yang dibutuhkan oleh sektor industri adalah tenaga kerja yang terampil. Jika tak diperhatikan, akan semakin banyak tenaga kerja asing (TKA) yang mengisi kesempatan kerja di Indonesia. Sebab Indonesia telah memasuki era ekonomi global.

Menaker: Indonesia Terlalu Buang Tenaga Untuk Pendidikan Formal | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Semarang

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Semarang

Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menilai, selama ini Indonesia hanya berfokus pada pengembangan sektor pendidikan formal. Hal ini terlihat dari alokasi anggaran untuk sektor pendidikan formal yang sangat besar. Namun, negara lupa untuk memberikan pelatihan kerja kepada masyarakatnya.

Hanif menuturkan Indonesia terlalu banyak menghabiskan dana untuk sektor pendidikan formal namun tidak mengalokasikan dana khusus untuk pelatihan kerja. Akibatnya, banyak pemuda-pemuda Indonesia, rentang usia 18 tahun keatas, hanya terjebak dalam satu jenis pekerjaan tertentu, atau lebih parah, yakni berstatus pengangguran.

“Untuk menghasilkan tenaga kerja yang profesional bukan hanya pendidikan formal, melainkan pelatihan kerja juga harus dilakukan atau dimasifikasi. Selain pelatihan kerja juga harus ada sertifikasi hal ini untuk menciptakan tenaga kerja yang profesioanal,” kata Hanif dalam diskusi dengan tema SARA, Radikalisme dan Prospek Ekonomi Indonesia 2017 di Graha CIMB Niaga, Jakarta Selatan, Senin (23/1/2017).

Berdasarkan data Kemenaker, 60 persen tenaga kerja Indonesia yang berusia 18 tahun ke atas hanyalah tamatan SD dan SMP.

Melihat kondisi tersebut, pihaknya berharap akan ada lompatan besar bagi percepatan peningkatan tenaga kerja dan sertifikasi profesi, setelah Hanif akan melakukan banyak upaya, salah satunya menjalin kerjasama dengan Kadin Indonesia.

"Bapak Presiden bilang, negara dan bangsa yang memenangkan persaingan adalah bangsa yang unggul skillnya. Kalau kita bicara era kompetensi, kuncinya ada di skill. Pembuktiannya ada di sertifikasi profesi," tegasnya.

"Republik ini ini terlalu banyak menghabiskan energi untuk pendidikan formal, tapi tidak selaras dengan yang dibutuhkan dunia kerja. Kita bicara politeknik, universitas, beasiswa dari negara, siapa yang bisa ambil itu?" tanya Hanif.