Terbaru

Melindungi Harta Benda Lewat Asuransi Akibat Aksi Terorisme

Jaminan risiko Terorisme dan Sabotase masih di anggap perlu di Indonesia | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Pekanbaru

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Pekanbaru


Setelah terjadi peristiwa World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001 silam, semua international reinsurer memutuskan untuk tidak memberikan jaminan risiko Terorisme dan Sabotase (TS). Namun, perusahaan asuransi di Indonesia memandang perlu tetap ada kapasitas untuk risiko TS.

"Jadi, produk asuransi teroris dan sabotase ini bukan produk asuransi yang melindungi terorisme dan sabotase. Tapi, produk ini melindungi harta benda dari kerusakan akibat aksi terorisme dan sabotase. Jangan salah arti," tegas Ketua Dewan Pengurus KPIAI-TS Robby Loho, saat memaparkan mengenai Produk Asuransi Terorisme dan Sabotase, di Jakarta, Kamis (22/12/2016).

Perlu diketahui, produk asuransi teroris dan sabotase bukan produk asuransi yang memberikan perlindungan terhadap aksi teroris dan sabotase. Namun, produk asuransi teroris dan sabotase ini merupakan produk yang melindungi harta benda milik seseorang dari sebuah risiko ketika mengalami kerusakan akibat aksi terorisme dan sabotase.

Ketua Komite Teknik KPIAI-TS Arizal E. R. mengatakan, sebelum peristiwa WTC terjadi, di Indonesia dan di negara lain sudah ada jaminan di asuransi teroris dan sabotase. Namun, usai terjadi peristiwa WTC, terjadi kejutan yang luar biasa karena risiko yang harus dihadapi oleh perusahaan asuransi sangat besar atas kerusakan yang terjadi akibat aksi terorisme.

Dalam hal ini, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) memprakarsai pembentukan konsorsium TS dengan menghimpun kapasitas yang diberikan oleh anggota konsorsium sebatas kemampuan dari yang dimiliki masing-masing anggota. Konsorsium itu disebut Konsorsium Pengembangan Industri Asuransi Indonesia - Terorisme & Sabotase (KPIAI-TS).

"Kerugian saat itu miliaran dolar Amerika Serikat (USD) ketika gedung kembar diserang dan hancur. Perusahaan asuransi harus mengeluarkan jaminan atau membayar klaim yang sangat besar. Setelah peristiwa itu perusahaan reasuransi menerbitkan klausul untuk mengecualikan aksi terorisme sehingga reasuransi di seluruh dunia menghilangkan jaminan," kata Arizal.

Adapun risiko yang dijamin seperti kerusakan pada harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan yang secara langsung disebabkan oleh salah satu atau lebih dari risiko-risiko seperti terorisme, sabotase, makar, dan pencegahan sehubungan dengan risiko-risiko dari beberapa butir sebelumnya.

Namun, lanjutnya, setelah terjadi aksi bom Bali di Indonesia, sejumlah perusahaan asuransi melihat ada sebuah risiko nyata yang perlu dilindungi atas kerusakan harta benda milik masyarakat dari aksi semacam itu. Di titik ini, AAUI memprakarsai untuk bagaimana caranya agar tetap menyediakan perlindungan atas kebutuhan tersebut.

Selain itu, yang dijamin adalah kerugian dan atau kerusakan atas harga benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan yang secara langsung disebabkan oleh penjarahan yang terjadi selama berlangsungnya terorisme dan atau sabotase. Risiko lain yang dijamin adalah gangguan usaha.

"Dari pemikiran itu maka dibentuk konsorsium asuransi teroris dan sabotase. Di konsorisum ini, masing-masing anggota memberikan kapasitas masing-masing. Dari situ, ditemukan bahwa kemampuan jaminan atau kapasitas yang bisa diberikan oleh nasabah adalah sebesar Rp145 miliar atau sekitar USD10 juta," tutur Arizal.

Menurut pandangan KPIAI-TS, terorisme adalah suatu tindakan, termasuk tetapi tidak terbatas pada penggunaan pemaksaan atau kekerasan dan atau ancaman dengan menggunakan pemaksaaan atau kekerasan, oleh seseorang atau sekelompok orang, baik bertindak sendiri atau atas nama atau berkaitan dengan sesuatu organisasi atau pemerintah dengan tujuan politik, agama, ideologi atau yang sejenisnya termasuk intensi guna memengaruhi pemerintahan dana atau membuat publik atau bagian dari publik dalam ketakutan.

Pada sisi lain, keanggotaan dari KPIAI-TS adalah perusahaan asuransi dan reasuransi yang berdomisili dan beroperasi di Indonesia yang memiliki izin usaha dari Pemerintah Indonesia. Anggota KPIAI-TS terdiri dari anggota penerbit polis yang sekaligus sebagai anggota penanggung risiko dan anggota penanggung risiko bukan penerbit polis.

Sedangkan sabotase adalah tindakan perusakkan harta benda atau penghalangan kelancaran pekerjaan atau yang berakibat turunnya nilai suatu pekerjaan, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, baik bertindak sendiri atau atas nama atau berkaitan dengan sesuatu organisasi atau pemerintah dalam usaha mencapai tujuan politik, agama, ideologi atau yang sejenisnya termasuk intensi guna memengaruhi pemerintahan dana atau membuat publik atau bagian dari publik dalam ketakutan.

"Untuk jumlah polisnya sekarang itu sekitar 1.000 polis atau kurang dari 2.000 polis. Paling besar masih komersial dari polis tersebut. Kalau untuk maksimal jaminan itu, misalnya, suatu pusat perbelanjaan terjadi kerusakan akibat aksi teroris. Lalu dia mengklaim, maka klaimnya tidak lebih dari Rp145 miliar karena kapasitasnya sampai angka itu," pungkas Arizal.

Asuransi lokal soal terorisme minta diprioritaskan | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Pekanbaru

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Pekanbaru


Arizal ER Anggota Dewan Pengurus KPIAI-TS menyebut selama ini belum ada aturan yang tegas soal kewajiban optimalisasi kapasitas asuransi dan reasuransi untuk pertanggungan asuransi terorisme dan sabotase. Alhasil masih cukup banyak penutupan produk tersebut yang lalu dilempar ke reasuransi asing.

Konsorsium Pengembangan Industri Asuransi Indonesia - Terorisme dan Sabotase (KPIAI-TS) berharap bisa segera dapat kejelasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) soal optimalisasi kapasitas dalam negeri. Bisnis asuransi terorisme dan sabotase dinilai bisa tumbuh jauh lebih cepat dengan dukungan regulasi tersebut.

Padahal ada beberapa bisnis yang bisa diserap pelaku usaha domestik lewat konsorsium teresebut. Pihak konsorsium pun disebutnya sudah meminta hal tersebut kepada regulator. Namun menurut dia, OJK masih mempertimbangkan hal tersebut.

Bila menjadi prioritas, ia menilai pelaku usaha yang tergabung dalam komsorsium ini akan berlomba untuk meningkatkan kapasitas dari saat ini yang sebesar Rp 140,8 miliar. "Dengan begitu kapasitas di dalam negeri akan semakin kuat," kata dia, Kamis (22/12).

Bahkan Arizal bilang, kejelasan regulasi ini bisa menimbulkan efek domino yang positif bagi perkembangan bisnis asuransi terorisme dan sabotase. Misalnya saja dari sisi kapasitas.

ASURANSI TERORISME & SABOTASE: Kapasitas Pertanggungan Konsorsium Capai Rp140 Miliar | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Pekanbaru

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Pekanbaru


Ketua Dewan Pengurus KPIAI-TS Robby Loho mengatakan peningkatan kapasitas didorong oleh faktor kenaikan nilai tukar dolar terhadap rupiah, peningkatan penyertaan modal yang dilakukan beberapa anggota konsorsium, dan peningkatan jumlah anggota.

Kapasitas pertanggungan Konsorsium Pengembangan Industri Asuransi Indonesia Terorisme-Sabotase atau KPIAI-TS meningkat 12% dari yang sebelumnya Rp125 miliar pada 2015 menjadi Rp140 miliar pada 2016.

Adapun, pada tahun ini jumlah anggota KPIAI-TS mengalami peningkatan menjadi 56 perusahaan yang terdiri dari 52 perusahaan asuransi dan empat perusahaan reasuransi. Dia mengungkapkan, kapasitas pertanggungan untuk asuransi terorisme dan sabotase setiap tahunnya akan berbeda-beda, karena menyesuaikan dengan nilai tukar dolar, dan penambahan modal yang dilakukan anggota.

“Tahun lalu jumlah anggota KPIAI-TS itu mencapai 54 perusahaan yang terdiri dari 50 perusahaan asuransi dan 4 perusahaan reasuransi,” kata Roby, Kamis (22/12/2016).

Robby yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Maskapai Reasuransi Indonesia Tbk. (Marein) menjelaskan kapasitas pertanggungan sebesar Rp140 miliar itu ditentukan berdasarkan kemampuan dari perusahaan asuransi yang menjadi anggota untuk membayar klaim.

“Pembayaran klaim asuransi terorisme dan sabotase ini sistemnya tanggung renteng. Sehingga kalau ada anggota yang tidak sanggup bayar, harus ditutupi kewajiban klaimnnya oleh anggota lainnya. makanya, harus dianalisis dulu neraca keuangannya,” ujarnya.

Dia menuturkan, kapasitas pertanggungan asuransi terorisme dan sabotase yang ditetapkan konsorsium sebesar Rp140 miliar itu memang cenderung lebih rendah jika dibandingkan kapasitas pertanggungan perusahaan asuransi di negara-negara maju lainnya.

Menurutnya, untuk meminimalisasi kemungkinan gagal bayar klaim dari anggota konsorsium, perusahaan akan diwajibkan terlebih dahulu untuk menyerahkan laporan neraca keuangan, dan menyetorkan modal miminum Rp325 juta.