Terbaru

Tiga Menteri Keuangan Bicara Soal Antisipasi Krisis Global

Apa yang terjadi dalam perekonomian dunia berdampak ke Indonesia | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Surabaya

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Surabaya


Tiga Menteri Keuangan dari berbagai periode menyatakan bahwa Indonesia masih tetap menghadapi risiko dilanda krisis ekonomi dunia di masa yang akan datang. Meski begitu, Indonesia harus mempersiapkan antisipasi, agar krisis ekonomi tidak menghantam Indonesia.

mantan menteri keuangan periode 2013-2014, Chatib Basri, menekankan pentingnya memperkuat kerja sama antara Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, maupun Lembaga Penjamin Simpanan, untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan dalam perekonomian ke depan.
"Harus duduk sama-sama, mengantisipasi level stress test seperti apa. Kerja sama antara KSSK (Komite Sistem Stabilitas Keuangan) sangat penting dalam situasi seperti itu," ujarnya.

Menurut mantan menteri keuangan periode 2001-2004, Boediono, kebijakan apa pun yang terjadi dalam perekonomian dunia, tentu akan berdampak kepada perekonomian negara, tak terkecuali bagi Indonesia. Tidak ada yang tahu pasti, kapan krisis ekonomi akan datang menghampiri.

"Kita harus mempertajam kemampuan kita membaca masa depan. Krisis itu seperti gempa, tidak ada yang tahu, kapan terjadi, seberapa besar, dan di mana. Kalau krisis tiba, harus ada semacam aturan," katanya dalam sebuah diskusi di Kementerian Keuangan Jakarta, Rabu 30 November 2016.

Namun, satu hal yang pasti, pengelola perekonomian sudah harus bersiap diri untuk mengantisipasi terjadinya hal tersebut. Yakni, dengan menggelontorkan kebijakan-kebijakan jangka menengah, juga merancang kebijakan jangka panjang.

Karena itu, pemerintah menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara untuk menjadi sebuah instrumen yang mampu menangkal krisis. Pemerintah juga memastikan keuangan negara jauh lebih kredibel di mata investor.

Hal senada, turut diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Menurutnya, meskipun pemerintah bisa membaca tren dari perekonomian dunia, namun masih ada risiko krisis ekonomi akan datang ke Indonesia.

Cerita Boediono Selamatkan Anggaran Negara Saat Krisis | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Surabaya

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Surabaya


Mantan Wakil Presiden (Wapres) dan juga mantan Menteri Keuangan, Boediono‎ menceritakan betapa menantangnya pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terkena imbas krisis moneter 1997-1998. Dia harus mengembalikan APBN lebih sehat, meyakinkan pelaku investor atas utang-utang yang menggunung sampai melakukan reformasi pajak.

"Makanya untuk mencegah krisis, ada rambu-rambunya. Di era Soeharto, konsepnya anggaran berimbang supaya menghindari APBN lepas kendali karena godaan APBN besar sekali, kancah tarik menarik kekuatan politik yang besar sekali. Jadi Menkeu harus tahan banting," jelasnya di kantor Kemenkeu, Jakarta, Rabu (30/11/2016).

Dalam Seminar Nasional Tantangan Pengelolaan APBN Dari Masa ke Masa, Boediono mengungkapkan pengalamannya mengelola anggaran negara di masa-masa kritis. Dia mengaku, pertengahan 1960, APBN Indonesia mengalami lepas kendali. Jejadian tersebut tak boleh terulang di tahun-tahun berikutnya. 

"Konsep defisit anggaran dan rasio utang dalam UU ini dijiplak dari Eropa, karena waktu itu kita tidak punya perhitungan anggaran ‎yang pas. Tapi itu bagus supaya utang tidak menjadi penyebab timbulnya gejolak," dia menerangkan.

Dalam menjalankan konsep anggaran belanja berimbang, pengeluaran tidak boleh lebih dari penerimaan. Saat ini, standarnya sudah skala internasional, ada penerimaan, belanja, dan defisit. Sementara dibuat rambu Undang-undang Keuangan Negara, di mana defisit fiskal tidak boleh melebihi 3 persen termasuk rambu rasio utang maksimal 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

"Parahnya lagi ada elnino atau kemarau berkepanjangan sehingga produksi pangan anjlok, harga beras naik tiga kali lipat dalam setahun. Kalau harga beras naik tinggi, semua goyang sehingga krisis yang mula-mula ekonomi bisa menjadi krisis sosial akibat masalah harga beras," terangnya.

Boediono memaparkan, saat dilanda badai krisis 1997-1998, ‎Indonesia mengalami komplikasi politik dan ekonomi sehingga masalahnya sangat besar. Sementara negara lain, tidak ada masalah politik. Dalam situasi krisis moneter ini, sambungnya, PDB Indonesia tergerus sepertujuhnya, dan diikuti dampak lain seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan merembet ke gerakan politik.

"Paling gampang motong pengeluaran, penerimaan dimaksimalkan dengan menggenjot penerimaan pajak walaupun tidak bagus karena ekonomi tumbuh negatif 13 persen, kemudian positif meski kecil ‎4 persen," tambah Boediono.

Lanjutnya, Indonesia ketiban atau harus menanggung utang lebih dari Rp 600 triliun sehingga pelaku pasar terus mempertanyakan keberlanjutan APBN Indonesia. Investor, sambung Boediono, enggan masuk ke Indonesia sehingga pemerintah harus meyakinkan investor bahwa dapat melewati masa-masa sulit ini.

Pemerintah melakukan reformasi di bidang pajak. Sementara untuk menutup kekurangan anggaran, dia bilang, pemerintah harus menjual aset negara karena melakukan pinjaman ke luar negeri sangat tidak mungkin karena tidak ada yang mau memberi utang.

"Bersamaan dengan itu, kita putuskan untuk stop kerjasama dengan IMF, karena kita yakin sudah bisa. Tapi kita harus berupaya jangan sampai keputusan ini menimbulkan gejolak yang diperlukan. Akhirnya 2004, estafet pemerintahan berganti dalam kondisi lebih baik dibanding pada saat 2004," pungkas Boediono. 

Pada akhir 2004, dia mengaku, tidak ada lagi pelaku pasar yang mempertanyakan kesinambungan APBN Indonesia. Selanjutnya, Indonesia normal kembali bisa mengakses pinjaman dari pasar luar negeri.

"Jadi dioptimalkan dari aset. Kita coba handle utang dengan baik, rescheduling utang jatuh tempo. Kita mau tunjukkan ke pelaku pasar meratakan beban ini sampai puluhan tahun ke depan akhirnya bisa teratasi," papar Boediono.

Boediono: Hati-hati, APBN Suka Jadi Sasaran Tarik-Menarik Politik | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Surabaya

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Surabaya


Mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia (RI), Boediono mengatakan, APBN jangan menjadi bagian dari masalah, tapi solusi. Sebab, kelangsungan pembangunan Indonesia bergantung pada pengelolaan APBN.

"Tahun 50-60an pertengahan, peran APBN adalah part of the problem bukan solution. Saat itu APBN mengalami proses yang lepas kendali. Jadi ini menjadi pengalaman yang luar biasa bagi pengelola setelah itu," katanya dalam Seminar Nasional di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (30/11/2016).

Indonesia kata dia harus berkaca akan pengalaman di mana pengelolaan APBN lepas kendali di tahun 1950 hingga medio 1960.

"Saya hanya pesan saja hati-hati. Nanti kita masuk ke APBN jadi sasaran tarik menarik politik yang besar. Jadi APBN jangan jadi bagian dari persoalan, tapi solusi," ucapnya.

Pengelolaan keuangan negara yang ideal bertumpu pada prinsip good governance yang selaras dengan prinsip good financial governance. Implementasi prinsip good financial governance dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara akan mampu menciptakan clean governance.

"Waktu itu memang salah satu sumber penutup kekurangan anggaran adalah menjual aset. Jadi kita optimalkan manfaat dari aset-aset yang dikumpulkan oleh BPPN," tuturnya.

Salah satu sumber penutup kekurangan anggaran pemerintah saat dirinya menjabat di tahun 2001-2004 adalah dengan menjual aset negara. Penutupan defisit negara menjadi hal yang mutlak harus dilakukan guna mengembalikan kepercayaan investor kepada Indonesia.

"Sekarang kita punya rambu juga, yaitu Undang-Undang keuangan negara. Tidak boleh konsolidasi anggaran negara. Kita coba juga untuk melihat apakah utang kita waktu itu, kita tunjukkan ke pelaku pasar bisa kita handle dengan baik. Akhirnya kita putuskan untuk lakukan sesuatu. Ini bisa kita lakukan, kita tunjukkan ke pelaku pasar, kita bisa atasi ini," jelas dia.

Namun kebijakan Pemerintah untuk menjual aset-aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bisa dijadikan ajang untuk pemutihan korupsi oleh para konglomerat yang terlibat korupsi. Jika aset-aset tersebut sudah berpindah ke tangan asing, maka pemerintah tidak lagi mempunyai kewenangan utuh untuk mengurusi aset tersebut. Untuk itu, diciptakanlah rambu-rambu yang mengatur keuangan negara, dalam UU Keuangan Negara.

"Jadi Menteri Keuangan benar-benar harus tahan banting. Ibu menteri saya harap tetap tegar. Di mana-mana APBN jadi masalah di negara lain juga, karena ini uang apa dan siapa yang akan mendapat manfaat tercepat. Oleh karena itu, rambu ini penting. Pengeluaran tidak boleh lebih dari pinjaman dari dalam maupun luar," pungkasnya. 

Akhirnya di tahun 2004, tidak ada lagi keraguan akan APBN Indonesia. Saat itu juga pemerintah menghentikan kerjasama dengan IMF sebagai penyedia utang negara.