Namun kepercayaan Sri Mulyani kepada pegawai pajak tidak pernah luntur | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Axa
Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada media pasca operasi tangkap tangan (OTT) pegawai Ditjen Pajak oleh KPK mengundang reaksi pegawai pajak.
Menanggapi hal itu, Ani pun langsung memberikan jawaban. "Saya kalau merasa terluka ya kecewa (atas kasus suap). Tetapi pada hari itu juga saya sampaikan tulisan saya di dalam Whatsapp dan Instagram saya ke seluruh jajaran," ujar perempuan yang kerap disapa Ani itu.
Bahkan ada yang menulis kekecewaan atas pernyataan perempuan 54 tahun itu. Tulisan pegawai pajak tersebut sempat dibacakan oleh Anggota Komisi XI Misbakhun saat rapat kerja dengan Menteri Keuangan, Dirjen Pajak, dan Dirjen Bea Cukai, Senin (28/11/2016).
Namun pasca OTT pegawai pajak, is memang sempat menulis surat untuk para jajaran Kementerian Keuangan.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu berharap agar pegawai pajak membaca tulisan yang ia buat. Ani tidak menyebutkan secara langsung tulisan tesebut.
Meski begitu, Ani memberikan sedikit penjelasan. Ia mengungkapkan, meski kecewa berat dengan perilaku oknum pegawai pajak yang tertangkap KPK dalam kasus dugaan suap, kepercayaannya kepada pegawai pajak tidak pernah luntur.
Perempuan kelahiran Lampung itu bahkan meminta Misbakhun membagikan tulisan yang ia buat kepada para pegawai pajak. Ia berharap tidak ada lagi pegawai pajak yang menilainya hanya menyalahkan Ditjen Pajak.
"Saya sebagai Menteri Keuangan tidak hanya masalah terluka atau kecewa saja. Saya ingin mengajak kita semua yang saya percaya 99,9 persen, saya yakin adalah staf-staf yang baik, yang memiliki integritas dan komitmen," kata Ani.
Surat yang dibacakan Misbakhun itu berjudul "Menaikkan Gaji 1.000 Kali Lipat?'". Intinya tutur ia, tulisan itu berisi keluhan pegawai pajak yang selalu dianggap rakus, tamak dan korup.
Dalam rapat kerja Kondisi XI dengan Sri Sri Mulyani, Misbakhun membacakan tulisan yang berisi curahan hati seorang pegawai pajak di hadapan Sri Mulyani.
Curhatan itu memang dikhususkan untuk Sri Mulyani. Sebelumnya, Sri Mulyani menyampaikan bahwa menaikkan gaji atau tunjangan selangit bagi pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), bukanlah cara yang tepat untuk menekan bibit-bibit korupsi.
“Saya hanya ingin sampaikan kegundahan teman-teman di Ditjen Pajak. Kebetulan banyak sahabat saya kerja di sana,” ujar Misbakhun.
Berdasarkan tulisan pegawai pajak yang dibacakan Misbakhun, pernyataan Sri Mulyani inilah yang mengundang berbagai reaksi dari pegawai pajak. Selain itu, Ani juga kerap mengungkapkan rasa kecewanya dengan mengucapkan kata tamak atau lalai pasca kasus suap pejabat Ditjen Pajak.
“Kalau mau dinaikkan 1.000 kali pun, enggak akan cukup, kalau itu adalah untuk orang yang tamak,” kata Sri Mulyani yang biasa disapa Ani.
Kata-kata itu juga dianggap stigma yang menghakimi pegawai Ditjen Pajak. "Ibu, tolong jangan hakimi kami dengan stigma : lalai, boros, dan tamak," seperti dikutip dari tulisan seorang pejabat pajak tersebut.
Pernyataan itu ia sampaikan saat menjawab pertanyaan wartawan terkait dugaan korupsi oleh Kasubdit pada Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak Kemenkeu, Handang Soekarno, dalam acara Media Gathering Wartawan Makro, di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (26/11/2016).
Seperti diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar operasi tangkap tangan (OTT) di Springhill Residence, Kemayoran, Jakarta, Senin (21/11/2016) malam.
Dari keduanya, KPK mengamankan uang sejumlah 148.500 dollar AS atau setara Rp 1,9 miliar. Saat ini KPK terus mendalami kasus tersebut apakah ada pihak lain atau tidak yang terlibat.
KPK menangkap Direktur Utama PT E.K Prima Ekspor Indonesia, R. Rajamohanan Nair dan Kasubdit Bukti Permukaan Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Handang Soekarno.
OTT Pegawai Pajak, Sri Mulyani: Anda Disumpah di Hadapan Tuhan | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Axa
Sri Mulyani pun mengucapkan selamat kepada kedua pejabat ini. Namun, dia juga mengingatkan, tanggung jawab yang diemban sangatlah berat. Sehingga, diharapkan kejadian serupa seperti operasi tangkap tangan (OTT) pekan lalu tidak terulang.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani telah melantik dua pejabat eselon II pada lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Kedua pejabat tersebut adalah Peni Hirjanto sebagai Direktur Intelijen Perpajakan dan Harry Gumelar sebagai Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur.
Sri Mulyani mengingatkan, saat ini masyarakat tengah kecewa dengan jajaran Ditjen Pajak. Untuk itu, butuh upaya keras dari Ditjen Pajak untuk memulihkan kepercayaan masyarakat.
"Saya sampaikan selamat kepada pejabat baru. Dua pejabat yang sangat penting karena tidak hanya dari sisi tanggung jawabnya tapi juga karena ada perkembangan dua minggu terakhir yang sama-sama kita perhatikan," kata Sri Mulyani di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (29/11/2016).
Untuk itu, Sri Mulyani menegaskan, kedua pejabat yang baru saja dilantik ini memiliki integritas kepada masyarakat dan institusi. Sebab, kedua pejabat ini nantinya langsung bertanggung jawab kepada Tuhan, bukan kepada dirinya.
"Kemarin DPR bertanya OTT pegawai pajak. Tentu dari berbagi masukan, kita miliki ide mengenai apa yang jadi kekecewaan masyarakat luas terhadap yang telah melukai kepercayaan masyarakat dan komitmen jajaran Kementrian Keuangan," jelasnya.
"Pasal satu sampai empat itu adalah sesuatu tidak boleh memberikan apapun dari siapa pun itu dari kitab suci. Itu anda tidak disumpah di hadapan saya, tapi di hadapan Tuhan," tutupnya.
"Saya rasa enggak perlu memberi sambutan karena pada saat menyampaikan sumpah itu jadi ironi secara sangat nyata apabila mengkhianati sumpahnya sendiri," tuturnya.
Imbauan Memanfaatkan Amnesti Pajak | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Axa
Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak terhadap wajib pajak yang tidak mengikuti amnesti pajak, apabila Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menemukan data mengenai harta wajib pajak yang diperoleh antara tahun 1985 hingga 2015 dan belum dilaporkan di SPT tahunan, atas harta tersebut dianggapsebagai tambahan penghasilan yang diterima/ diperoleh wajib pajak.
DJP memiliki data mengenai kepemilikan harta wajib pajak seperti saham, obligasi, asuransi, kendaraan bermotor, kapal ikan/ pesiar, properti, perkebunan, dan lain-lain yang belum dilaporkan dalam SPT tahunan.
Atas tambahan penghasilan itu, akan dikenai pajak penghasilan (PPh) dengan tarif normal (25 persen untuk wajib pajak badan dan 5-30 persen untuk orang pribadi), ditambah pengenaan sanksi administrasi bunga 2 persen per bulan paling lama 24 bulan.
Jumlah kekurangan pajak yang timbul akibat ditemukannya data kepemilikan hartayang belum dilaporkan di SPT tahunan akan ditagih dengan penerbitan surat ketetapan pajak kurang bayar
Begitu juga data seperti tabungan dan deposito, dapat diperoleh DJP melalui kegiatan pemeriksaan pajak. Dengan demikian, DJPmemiliki dasar yang kuat untuk menindaklanjuti kepatuhan wajib pajak. Untuk itu, DJP mengimbau kepada wajib pajak untuk segera memanfaatkan amnesti pajak. Tarif tebusan untuk periode II Oktober-Desember 2016 ini, masih sangat ringan. Wajib pajak yang melaporkan harta di dalam negeri atau merepatriasi harta yang ada di luar negeri, hanya dikenai tarif 3 persen.
Guna menghindari antrean dan kendala ang tidak perlu di akhir periode II, yang bertepatan dengan akhir tahun 2016, sangat disarankan agar wajib pajak segera menyampaikan surat pernyataan harta tanpa menunggu akhir periode. Terhadap wajib pajak yang tidak memanfaatkan amnesti pajak sampai dengan periode amnesti pajak berakhir 31 Maret 2017, DJP akan menindaklanjutinya sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU Pengampunan Pajak. DJP mempunyai waktu tiga tahun sejak UU berlaku untuk melakukan penelitian terhadap harta wajib pajak yang tidak mengikuti amnesti pajak.
Wajib pajak yang mendeklarasikan harta di luar negeri, dikenai tarif 6 persen. Bagi wajib pajak UMKM dengan omset sampai dengan Rp 4,8 miliar setahun, tarif tebusannnya lebih ringan lagi yakni hanya 0,5 persen untuk yang melaporkan harta tidak lebih dari Rp10 miliar, atau 2 persen untuk yang melaporkan harta lebih dari Rp 10 miliar.