Terbaru

Dulu Peternak Rakyat Mendominasi Pasar Unggas, Kini?

Bisnis peternak unggas kian lesu | PT Rifan Financindo Berjangka 

PT Rifan Financindo Berjangka


Tahun ini, porsi peternakan rakyat tinggal 18 persen. Tak sedikit peternak skala usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) ini malah bangkrut.

Sejumlah kalangan menuding, situasi ini dipicu oleh Undang-Undang (UU) No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Dalam sepuluh tahun terakhir, bisnis peternak unggas kian lesu. Sebagai perbandingan, tahun 2006 peternakan rakyat menguasai 70 persen pangsa pasar unggas nasional.

Kondisi ini tak terlepas dari gejolak harga ayam broiler (livebird) yang jatuh di bawah ongkos produksi selama kurun waktu tahun 2013-2016. Tahun 2014, harga bibit ayam atau day old chick (DOC) konsisten mahal dan peternak kecil kesulitan memperolehnya.

Maklum, UU ini membuka peluang industri masuk secara leluasa di bisnis budidaya. Pengaturan suplai indukan juga tidak dibuat yang mengakibatkan fluktuasi harga ayam.

"Potensi kerugian yang dialami peternak di dua kabupaten ini saja mencapai antara Rp 746 miliar hingga Rp 1,49 triliun per tahun," ujarnya, Kamis (3/11/2016).

Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Yeka Fatika mengatakan, berdasarkan penelitian yang dilakukan di dua kabupaten di Jawa Barat, yakni di Karawang dan Bogor, peternak mandiri menderita kerugian besar.

Yeka menjelaskan, marginalisasi peternak unggas mandiri terjadi dalam tiga pola. Pertama, marginalisasi usaha, terjadi ketika peternak bangkrut.

Kedua, marginalisasi skala usaha, terjadi pada saat peternak mengalami penurunan skala usaha.

Ini berdampak terhadap pengurangan jumlah peternak UMKM dan meningkatnya peternak plasma.

Ketiga, marginalisasi kemandirian terjadi pada saat peternak berubah dari peternak mandiri menjadi peternak plasma.

Namun hingga kini, Kemtan belum mengambil langkah konkret untuk mendukung industri peternakan rakyat.

Dalam lima tahun terakhir, telah terjadi penurunan skala usaha peternak UMKM dari 35.000 DOC per minggu menjadi 17.000 DOC per minggu.

Saeful, seorang peternak asal Sukabumi mengatakan, pihaknya telah mengadukan nasib mereka kepada pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kemtan).

"Saat ini, saya tidak pernah mendengar lagi ada peternak rakyat yang berhasil membesarkan usaha mereka dari skala kecil menjadi besar," ujarnya.

Peternak Unggas Minta Perhatian Pemerintah | PT Rifan Financindo Berjangka 

PT Rifan Financindo Berjangka


"Sepuluh tahun lalu, kontribusi atau penguasaan pasar masih meencapai 70%  untuk tingkat nasional. Saat ini, hanya tinggal 18%," kata Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra Fatika dalam jumpa pers Marjinalisasi Peternak Unggas, di Jakarta, Kamis (3/11/2016).

Menurut Yeka, kondisi saat ini tidak jauh lebih baik dimana pasar dalam negeri tengah mengalami kelebihan pasok. Dengan adanya kelebihan pasok atau harga unggas yang dijual lebih rendah daripada harga produksi, maka banyak pelaku usaha skala UMKM terancam bangkrut.

Pemerintah diminta lebih memperhatikan nasib dari para peternak unggas skala usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan mengambil langkah intervensi untuk menyelamatkan para pelaku usaha tersebut yang saat ini terancam gulung tikar.

"Saat ini over supply, dimana harga ayam yang dijual dibawah harga produksi. Pada 2015-2016, harga live bird sangat berfluktuasi dan nyaris pemerintah tidak melakukan intervensi untuk melindungi peternak sehingga mereka melakukan aksi protes," kata Yeka.

Yeka mengatakan, krisis yang dihadapi oleh para peternak unggas skala UMKM tersebut sesungguhnya dimulai saat krisis ekonomi pada 1998. Saat itu, banyak peternak unggas yang mengalami kebangkrutan dan menanggung banyak hutang sehingga memaksa mereka untuk gulung tikar.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua Bidang Riset Pataka Doni Yusri menyatakan bahwa dari hasil riset yang dilakukan, ada beberapa temuan yang menjadi perhatian. Tercatat masa emas para peternak skala UMKM di Indonesia pada 2011, namun sejak 2012 terus mengalami penurunan hingga saat ini.

Doni menjelaskan, seharusnya, pemerintah bisa mengintervensi masa penurunan tersebut dan tidak membiarkan para peternak unggas rakyat menutup usahanya. Pihaknya mengharapkan pemerintah segera mengambil langkah dalam waktu dekat untuk menyelamatkan peternak unggas skala UMKM yang masih tersisa.

Selain itu, lanjut Doni, tercatat ada kebangkrutan poultry shop atau agen pengumpul hasil peternak skala UMKM. Tahun ini, di Karawang, Jawa Barat, sebanyak tiga poultry shop menutup usahanya yang beru dimulai pada tahun 2007.

"Berdasarkan hasil riset, lama berusaha peternak skala UMKM itu 18,25 tahun. Masa yang masih bisa diantisipasi adalah 0-12,5 tahun, meskipun ada permasalahan masih bisa diatasi. Namun sejak 2013 terus mengalami penurunan. Bukan hanya skala ekonominya menurun, tapi banyak pelaku UMKM mengalami kebangkrutan atau tutup usaha," kata Doni.

"Masa suram itu sudah berlangsung lima tahun, tanpa ada intervensi peerintah. Ini tidak kita harapkan untuk kedepannya. Sebelum terjadi krisis, rata-rata peternak skala UMKM bisa memproduksi 35.000 ekor ayam per minggu, sekarang tinggal 17.000 ekor per minggu. Dalam waktu lima tahun sudah turun lebih dari setengahnya. " kata Doni.

Penutupan poultry shop tersebut, lanjut Doni, tidak hanya terjadi di Karawang saja. Wilayah lain yang dijadikan riset oleh Pataka adalah Bogor, Jawa Barat. Pada 2009 terdapat delapan poultry shop, namun saat ini semuanya sudah tidak lagi beroperasi.

Pataka menyimpulkan, berdasar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan, pemerintah perlu melakukan intervensi harga, pasokan dan stabilisasi harga barang kebutuhan pokok dan barang penting yang tidak hanya mengacu pada konsumen, akan tetapi juga para produsen seperti peternak mandiri atau UMKM.

"Jika satu poultry shop memiliki mitra UMKM sebanyak 100-200 peternak, maka sudah 1.100-2.200 peternak hilang. Ini hanya dari dua wilayah saja. Dari studi kasus tersebut, . Dari studi kasus tersebut, kerugian ekonomi mencapai Rp746 miliar-Rp1,4 triliun per tahun," kata Doni.

Marginalisasi Rugikan Peternak Skala UMKM | PT Rifan Financindo Berjangka 

PT Rifan Financindo Berjangka


"Hal ini berimplikasi terhadap marginalisasi peternak unggas," kata Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra Fatika di Jakarta, Kamis (3/11).

Jelas Yeka, marginalisasi peternak unggas, terjadi dalam tiga pola. Pertama, marginalisasi usaha, terjadi ketika peternak UMKM bangkrut. Kedua, marginalisasi skala usaha, terjadi pada saat peternak UMKM mengalami penurunan skala usaha. Ketiga, marginalisasi kemandirian, terjadi pada saat peternak UMKM berubah dari peternak mandiri menjadi peternak plasma.

Pemerintah dinilai kurang berdaulat dalam menetapkan kebijakan untuk melindungi peternak UMKM. Adanya liberalisasi segmen budidaya yang dijustifikasi oleh UU No 18 tahun 2009 dan disertai tidak adanya pengaturan supply indukan oleh Pemerintah baik yang diimpor maupun yang diproduksi oleh perusahaan telah mengakibatkan fluktuasi harga DOC dan livebird.

"Dari hasil survei, dalam lima tahun terakhir telah terjadi penurunan skala usaha peternak UMKM dari 35.000 DOC per minggu menjadi 17.000 DOC per minggu. Hal ini berdampak terhadap pengurangan jumlah peternak UMKM dan meningkatnya peternak plasam," tambahnya.

Potensi ekonomi yang hilang akibat marginalisasi peternak unggas berdasarkan survei di dua Kabupaten, yaitu Karawang dan Bogor diperkirakan sebesar Rp 746 miliar hingga Rp 1,4 triliun per tahun.

Berdasarkan UU Perdagangan, sambung Yeka, Pemerintah harus mengintervensi harga, pasokan, dan stabilisasi harga barang kebutuhan pokok dan barang penting yang tidak hanya berprospektif pada konsumen tetapi juga pada produsen seperti peternak mandiri atau UMKM. "Negara seharusnya lebih mementingkan pada penguatan para peternak UMKM, negara jangan abai terhadap nasib para peternak UMKM," katanya

Berdasarkan survei terhadap sample, terlihat bahwa peternak memulai usahanya dari usia 20-40 tahun. Usia ini merupakan usia yang produktif. Dengan adanya marjinalisasi di sektor peternakan unggas, mengakibatkan hilangnya potensi pekerjaan di sektor peternakan untuk usia produktif. Menurutnya, jika ini dibiarkan maka bonus demografi yang dimiliki Indonesia di tahun 2025 tidak bisa masuk ke sektor peternakan