Terbaru

Pertamina Siap Teken Kontrak Blok East Natuna

ExxonMobil dan PTT yang akan menjadi mitra Pertamina untuk menggarap Blok East Natuna | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Surabaya

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Surabaya


PSC memang baru mengatur detil term and conditions untuk pengembangan minyak di struktur AP (minyak). Sedangkan untuk pengeboran di struktur AL (gas) belum diatur jelas, karena masih menunggu hasil kajian mengenai teknologi yang cocok untuk pengembangan gas di sana, serta bagaimana pemasarannya (Technology and Marketing Review/TMR).

"Kami sudah bahas sama-sama, tim juga bahas sama-sama, untuk yang AP kami sudah oke. Kalau studi mengenai yang AL sudah selesai, teknologinya seperti apa, marketingnya seperti apa, baru kami diberi kesempatan untuk menyesuaikannya," kata Alam , Kamis (6/10/2016).

PT Pertamina (Persero) menyatakan, secara prinsip menyetujui syarat dan ketentuan (term and conditions) yang ditawarkan pemerintah dalam Production Sharing Contract (PSC/kontrak bagi hasil) untuk Blok East Natuna. Tidak ada keberatan dari Pertamina.

Direktur Hulu Pertamina, Syamsu Alam, mengungkapkan PSC akan ditandatangani dulu, dan nantinya akan direvisi setelah TMR untuk pengembangan gas selesai.

Meski syarat dan ketentuan untuk pengembangan gas belum jelas, termasuk soal bagi hasil antara kontraktor dengan negara, Pertamina tetap tak keberatan. Sebab, pemerintah ingin Blok East Natuna segera dikembangkan supaya ada aktivitas di kawasan itu. 

Pemerintah berjanji akan menyesuaikan PSC setelah studi untuk pengembangan gas di East Natuna selesai. "Janjinya dari pemerintah, untuk pengembangan AL nanti akan dilihat setelah hasil TMR selesai. Kami pada prinsipnya sudah oke," paparnya.

Lokasi Blok East Natuna termasuk dalam 9 garis batas di Laut Cina Selatan yang diklaim China sebagai wilayahnya. Maka blok yang memiliki cadangan gas sebesar 46 triliun kaki kubik (TCF) ini harus segera digarap untuk menunjukkan kedaulatan Indonesia.

"Ada pemikiran pemerintah agar segera ada aktivitas sehingga akan kami percepat. Kalau menunggu studi di struktur AL kan masih lama, jadi dikembangkan dulu yang AP tapi tetap menjadi 1 PSC. Kami lihat term and conditions-nya seperti apa, itu yang lagi kami bahas," ujar Alam.

"Semua pada prinsipnya sudah oke. Tapi tantangannya di sana kan juga besar, mau nggak mau harus ada split yang cukup untuk kontraktor, angkanya nanti diumumkan saat tanda tangan kontrak," pungkasnya. 

Kata Alam, ExxonMobil dan PTT yang akan menjadi mitra Pertamina untuk menggarap Blok East Natuna pun sudah siap meneken PSC. Tetapi, tentu bagi hasil untuk kontraktor harus layak karena tingkat kesulitan pengembangan Blok East Natuna cukup tinggi.

Sengkarut Bagi Hasil East Natuna Tak Kelar-kelar | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Surabaya

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Surabaya


Plt Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pihaknya masih membutuhkan waktu satu bulan guna membicarakan berbagai hal teknis yang mengemuka di internal konsorsium dan pemerintah.

Luhut menyadari, isu teknis yang paling krusial adalah skema bagi hasil yang pemerintah tawarkan. Di tengah harga minyak mentah dunia yang anjlok, konsorsium berharap ada peningkatan bagi hasil yang berbeda dari biasanya. "Masalah bagi-bagi kuenya," kata Luhut.

Keinginan pemerintah untuk mengembangkan wilayah kerja (WK) Blok East Natuna masih terganjal persoalan bagi hasil. Alhasil, batas waktu kontrak terpaksa diperpanjang.

"East Natuna ternyata ada sedikit masih putus, tapi dalam 1 bulan ke depan akan selesai. Ada masalah teknis yang masih dibicarakan. Tapi sudah sangat maju," tutur Luhut di Jakarta, Rabu (5/10/2016).

"Kita mau lihat di harga berapa mau kita bikin. Kita mau kaitkan nanti antara harga tinggi dan harga rendah. Jadi sharing pain dan sharing gain. Kalau kita terlalu kaku juga nanti orang nggak ada yang mau," tuturnya.

Pemerintah sendiri berharap dalam kontrak nanti bagi hasil lebih fleksibel di mana tidak ada yang dirugikan dengan situasi harga minyak mentah dunia saat ini. Di saat harga minyak mentah naik, kata Luhut, skema bagi hasil harus juga menguntungkan negara.

Luhut Sebut Kontrak Blok Natuna Terhambat Masalah Bagi Hasil | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Surabaya

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Surabaya


Konsorsium Blok East Natuna yang terdiri atas PT Pertamina (Persero), ExxonMobil, dan PTT Thailand itu rencananya akan menandatangani PSC pada September 2016, tapi kemudian batal tanpa alasan jelas.

Menurut Luhut, meski masih terhambat karena masalah bagi hasil, namun selalu ada progres penyelesaiannya.

Pelaksana Tugas (Plt) Menteri ESDM Luhut Binsar Panjaitan mengakui penandatanganan kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) Blok East Natuna masih terhambat masalah bagi hasil (split).

"Natuna ternyata ada sedikit yang masih belum putus, tapi dalam satu bulan ke depan akan selesai. Ada masalah teknis yang tadi mereka (konsorsium) masih bicarakan, masalah bagi-bagi 'kue'-nya," katanya ditemui di Kementerian ESDM Jakarta, Rabu (5/10).

Ia menambahkan, pihaknya ingin PSC Blok East Natuna bisa menguntungkan baik bagi negara maupun kontraktor pada saat harga minyak naik atau turun. Hal itu, menurut dia, penting agar iklim investasi di bidang usaha tersebut tetap atraktif bagi investor. "Kami mau lihat di harga berapa sih mau dibikin. Karena kami mau kaitkan nanti antara harga tinggi dan harga rendah, jadi sharing gain dan sharing pain. Kalau terlalu kaku juga nanti orang nggak ada yang mau," ujarnya.

Blok East Natuna diperkirakan memiliki cadangan gas empat kali lebih besar dari Blok Masela yakni mencapai 46 triliun kaki kubik (TCF). Selain cadangannya yang besar, lokasi blok yang masuk wilayah Laut China Selatan itu dinilai pemerintah menjadi prioritas segera dikembangkan demi alasan kedaulatan.

Pemerintah tadinya akan menetapkan kelanjutan rencana pengembangan proyek blok migas East Natuna pada Rabu (5/10). "Putusan soal 'framework' kerja samanya itu, eksekusinya. Karena dari 2011 itu mundur maju, mundur maju, beberapa kali diperpanjang," ujar Luhut di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (4/10).