Harga gas bumi di tiap negara ternyata tidak lebih murah ketimbang Indonesia | PT Rifan Financindo Cabang Bandung
Pengamat Energi dari Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengungkapkan, harga gas bumi di tiap negara ternyata tidak lebih murah ketimbang Indonesia. Malaysia misalnya, intervensi pemerintah di negeri Jiran tersebut membuat harga gas bumi nasional mereka lebih besar. Padahal jika tidak ada intervensi, harganya lebih mahal daripada Indonesia.
Mengutip harga gas melalui citygas.co.sg, dia menjelaskan bahwa harga gas rata-rata di Singapura per 1 Agustus sampai 31 Oktober 2016 termasuk pajak yang dijual ke konsumen mencapai USD18,5 per MMBTU. Sedangkan harga gas di Malaysia karena adanya subsidi mencapai USD6,6 per MMBTU.
Industri Tanah Air mengharapkan pemerintah mengambil peranan yang lebih besar dalam upaya penurunan harga gas bumi. Sebab dengan adanya campur tangan pemerintah, harga gas untuk industri akan mampu berdaya saing dengan negara-negara ASEAN.
"Harga gas di Malaysia sudah pasti lebih rendah karena adanya subsidi dari pemerintah. Ternyata di Singapura, ada juga yang disubsidi, sedangkan yang tidak (disubsidi pemerintah) maka harganya jauh lebih mahal," ujar Pri dalam keterangan tertulis, Jakarta, Selasa (11/10/2016).
Pada intinya, ungkap dia, di tengah menurunnya harga minyak dunia sudah sepantasnya harga gas turun, namun tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan dengan mematok harga. "Di sini, pemerintah memiliki peranan besar untuk harga gas jadi lebih murah," tutup Pri.
"Kalau di Tiongkok harga gasnya sebesar USD15 per MMBTU dan di Thailand USD7,5 per MMBTU. Sementara harga gas di Indonesia sebesar USD9 per MMBTU," paparnya.
Menyoal Mahalnya Harga Gas | PT Rifan Financindo Cabang Bandung
SETELAH lebih setahun harga gas cenderung naik, baru sekarang Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempersoalkan mahalnya harga gas di Indonesia. Dalam rapat kabinet terbatas pekan lalu, Jokowi menyinggung harga gas industri di Indonesia jauh lebih mahal ketimbang harga gas di Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Indonesia yang punya cadangan gas berlimpah, harga gas industri mencapai sekitar USD11,2 hingga USD13,5 per million metric british thermal units (MMBtu). Sedangkan di Vietnam dan Singapura yang tidak mempunyai sumber gas, harga gas hanya sebesar USD4 per MMBtu di Singapura dan USD7 per MMBtu di Vietnam.
Ketentuan harga gas sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Implementasi perpres itu dituangkan ke dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang Ketentuan Alokasi dan Pemanfaatan serta Penetapan Harga Gas Bumi. Namun, perpres dan permen tersebut tidak berdaya sama sekali mengendalikan harga gas Indonesia sehingga harga gas industri tetap saja bergerak naik secara liar.
Dalam rapat kabinet itu, Jokowi menginstruksi kepada jajaran menteri terkait untuk menurunkan harga gas industri hingga 50%, menjadi sekitar USD6 per MMBtu, paling lambat akhir November 2016. Pertanyaannya, dapatkah pemerintah menurunkan harga gas industri hingga turun rata-rata menjadi USD6 per MMBtu sesuai waktu ditetapkan?
Paling tidak ada tiga faktor utama yang menyebabkan pergerakan kenaikan harga gas industri di Indonesia. Pertama, harga gas di ladang hulu tergolong sudah mahal, berkisar USD6 hingga USD8 per MMbtu. Data per Agustus 2016 menunjukkan harga gas dari lahan Jatirangon, Jawa Barat dan Lahan Wunut, Jawa Timur mencapai USD6,75 per MMbtu, dari Lapangan Merang Jambi seharga USD6,47 per MMbtu, dan dari Sumur Medan sebesar USD8,49 per MMbtu. Dengan mahalnya harga di sektor hulu tersebut, tidak bisa dihindari harga gas di sektor hilir pada konsumen industri pasti ikut menjadi mahal.
Dalam dokumen "Pengaturan Harga Gas" yang dikeluarkan BPH Migas pada Oktober 2015 menyebutkan bahwa praktik trader gas bertingkat membuat harga gas pada konsumen industri menjadi sangat mahal. Dokumen itu menunjukkan bahwa sumber gas dari Bekasi yang berasal dari PT Pertamina EP dijual pertama kali kepada PT Pertagas. Lalu, Pertagas menjual gas tersebut kepada PT Odira sebagai trader pertama. PT Odira kemudian menjual kembali gas tersebut ke trader kedua, yaitu PT Mutiara Energi dengan harga USD9 per MMbtu.
Kedua, keterbatasan ketersediaan infrastruktur pipa gas yang dibutuhkan untuk menyalurkan gas bumi dari hulu hingga ke hilir konsumen industri. Dengan wilayah Indonesia yang sangat luas, sedangkan lokasi lahan-lahan migas menyebar di berbagai wilayah, Indonesia membutuhkan infrastruktur jaringan pipa sangat panjang, sekitar 18.560 km. Sampai Agustus 2016 jaringan pipa yang sudah dibangun dan dioperasikan sekitar 9.324,8 km atau sekitar 50% dari total kebutuhan pipa. Kekurangan kebutuhan pipa gas tersebut tidak hanya memicu mahalnya gas, tetapi juga menyebabkan krisis gas di beberapa daerah seperti terjadi di Medan dan Jawa Timur.
PT Mutiara Energi mengalirkan gas menuju trader ketiga, yaitu PT Berkah Usaha Energi dengan harga USD11,75 per MMBtu. PT Berkah Usaha Energi menyalurkan gas tersebut ke konsumen industri dengan menggunakan pipa "open access" milik Pertagas. Penggunaan pipa open access dikenai biaya toll fee sebesar USD 0,22 per MMBtu. Margin yang dipungut ketiga trader, ditambah biaya toll fee dibebankan ke harga jual sehingga harga gas pada konsumen industri menjadi mahal, bisa mencapai USD 12 per MMBtu.
Ketiga, jalur distribusi dari hulu ke hilir hingga konsumen industri sangat panjang dan bertingkat. Salah satunya disebabkan oleh ada trader nonpipa, yang selama ini hanya berperan sebagai makelar pemburu rente. Dari 67 trader yang bermain di industri gas, sebagian besar tidak memiliki jaringan pipa. Kalaupun mereka memiliki, jaringan pipa umumnya sangat pendek, yang tidak mencukupi untuk menghubungkan dari lahan migas hingga konsumen industri. Keberadaan trader nonpipa inilah yang menjadi penyebab utama jalur distribusi gas menjadi lebih panjang dan bertingkat. Akibat itu, harga gas berlaku di mulut sumur ladang migas hanya rata-rata sekitar USD6 per MMbtu, naik menjadi rata sebesar USD 12 per MMbtu pada konsumen industri.
Tanpa menyelesaikan tiga faktor penyebab mahalnya harga gas tersebut, tidaklah mudah menurunkan harga gas industri hingga turun 50%. Upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan harga gas adalah menurunkan harga gas di mulut sumur gas. Upaya itu di antaranya mengurangi beban pajak yang harus ditanggung investor hulu gas, mempercepat perizinan bagi investor yang mau investasi di ladang migas, dan mengubah komposisi bagi hasil antara pemerintah dan investor dalam skema production sharing contract, yang dibarengi dengan penurunan cost of recovery ditanggung pemerintah.
Tanpa menyelesaikan tiga permasalahan tersebut, jangan harap harga gas industri bisa diturunkan hingga 50% atau mencapai rata-rata sebesar USD6 per MMBtu seperti yang diinstruksikan oleh Presiden Jokowi. Kalau benar-benar harga gas industri tetap tidak bisa diturunkan untuk kedua kalinya setelah gagalnya penurunan harga daging pada bulan puasa lalu, instruksi Presiden Jokowi untuk penurunan harga tidak dapat dicapai.
Untuk mengatasi kekurangan ketersediaan jaringan pipa, pemerintah harus mendorong PT Pertagas dan PT PGN serta trader untuk menambah pembangunan jaringan gas dengan mewajibkan semua trader harus memiliki kecukupan jaringan pipa seperti yang disyaratkan. Sedangkan untuk memangkas jalur distribusi yang panjang dan bertingkat, pemerintah harus melarang trader yang tidak memiliki jaringan pipa untuk menyalurkan gas hingga ke konsumen.
Harga Gas di Singapura Ternyata Lebih Mahal Dibanding Indonesia | PT Rifan Financindo Cabang Bandung
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan harga gas untuk industri dapat turun menjadi 6 dolar Amerika Serikat per MMBTU (Million Metric British Thermal Unit) guna meningkatkan daya saing industri di Indonesia.
Namun rupanya Presiden Jokowi tidak mendapatkan informasi yang benar tentang harga gas industri di negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand.
Harga tersebut dinilai paling pas di Indonesia yang notabene sepadan dengan negara-negara tetangga.
"Harga gas sebuah negara tidak bisa apple to apple dibandingkan. Misal harga gas di Singapura dengan di Indonesia, ataupun harga gas di Malaysia dengan di Indonesia," kata Pengamat Energi dari Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto saat dihubungi, Senin (10/10/2016).
Mengutip harga gas di Singapura melalui citygas.com.sg dijelaskan harga gas rata-rata di negara tersebut per 1 Agustus sampai 31 Oktober 2016 termasuk pajak yang dijual ke konsumen mencapai 18,5 dolar per MMBTU.
"Jadi tolonglah siapapun yang menyampaikan informasi ke Presiden Jokowi jangan sepotong-sepotong seolah-olah harga gas kita paling tinggi," kata Pri Agung.
Menurutnya, harga gas di Malaysia sudah pasti lebih rendah karena adanya subsidi dari pemerintah. Ternyata di Singapura, sambung Pri Agung ada juga yang disubsidi, sedangkan yang tidak maka harganya jauh lebih mahal.
Pada intinya, di tengah menurunnya harga minyak dunia memang sudah sepantasnya harga gas turun namun tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan dengan mematok harga. Pemerintah justru memiliki peranan besar yang menyebabkan harga gas tinggi.
Sedangkan harga gas di Malaysia karena adanya subsidi mencapai 6,6 dolar per MMBTU. Adapun di China harga gasnya sebesar 15 dolar per mmbtu dan di Thailand sebesar 7,5 dolar per MMBTU. Sementara harga gas di Indonesia sebesar 9 dolar per MMBTU.