NPL meningkat, bank perlu memperhatikan risiko kredit | PT Rifan Financindo Berjangka Pusat
Bank Indonesia (BI) menilai lambatnya transmisi kebijakan suku bunga BI terhadap penurunan suku bunga kredit antara lain disebabkan oleh adanya peningkatan premi risiko, seiring meningkatnya rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) perbankan.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menuturkan, NPL perbankan yang meningkat membuat bank harus memperhatikan risiko kredit, sehingga premi risiko yang menjadi salah satu komponen penentuan bunga kredit pun meningkat. Hal ini yang membuat suku bunga kredit baru turun sebesar 52 bps.
Selain disebabkan oleh peningkatan premi risiko, Perry sebelumnya menjelaskan masih terbatasnya penurunan bunga kredit disebabkan oleh lambatnya penyaluran kredit perbankan yang membuat bank memilih menahan untuk menurunkan bunga kredit, agar tetap mencapai target pendapatan bunga atau margin. Berdasarkan data BI, hingga Juli 2016, penyaluran kredit tercatat tumbuh 7,74% secara year on year (yoy), melambat dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 8,9% (yoy).
"Ini menjadi pertimbangan setelah melonggarkan makroprudensial, kami kembali mendorong penyaluran kredit dari sisi permintaan dengan kembali menurunkan suku bunga (BI 7 Day Repo Rate) 25 bps menjadi 5%," terang dia.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menjelaskan, transmisi penurunan suku bunga acuan BI sebesar 100 bps sudah tertransmisikan dengan baik pada penurunan suku bunga deposito yang tercatat sudah turun sebesar 100 bps. Adapun penurunan bunga kredit, menurut dia, berjalan lebih lambat. "Kalau seandainya penurunan kredit agak lemah, itu faktor yang berperan adalah bank lebih berhati-hati karena risiko kredit meningkat. Rasio kredit bermasalah memang sudah meningkat menjadi 3,2%," ujar Agus di Jakarta, Kamis (22/9).
"Walaupun NPL gross meningkat menjadi 3,2%, secara net masih ada dikisaran 1,5%. Jadi ada kehati-hatian yang dilakukan, tentu yang paling berperan untuk perbaikan kualitas kredit adalah pertumbuhan kredit serta kondisi ekonomi global dan domestik," terang Agus.
Menurut dia, rasio kredit bermasalah perbankan masih mengalami tren peningkatan. Pada Juli 2016, rasio NPL tercatat sebesar 3,2% meningkat dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 3,05%. Meski secara gross cukup tinggi, menurut dia, NPL perbankan secara net masih terjaga di kisaran 1,5%.
Di sisi lain, Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) Haru Koesmahargyo mengatakan, kualitas kredit perbankan saat ini memang menghadapi tren peningkatan. Meski demikian, BRI akan menjaga rasio NPL pada kisaran 2,5% serta menjaga rasio biaya pencadangan pada kisaran 150%. Menurut Haru, bunga kredit BRI juga sudah menurun cukup banyak. Perseroan sudah menurunkan suku bunga kredit hampir pada seluruh segmen.
"Bunga korporasi kami sudah single digit, bunga kredit itu kan berjenjang, jadi kalau kredit besar itu sebenarnya otomatis akan turun. Tapi memang untuk kredit yang kecil-kecil overhead cost-nya mahal jadi akan dilakukan secara bertahap," terang Haru.
BI mencatat, penurunan rata-rata suku bunga kredit hingga akhir Agustus lalu baru mencapai 52 basis poin (bps). Padahal, bunga deposito perbankan sudah turun 100 bps seiring penurunan suku bunga acuan BI sepanjang tahun ini.
Sementara itu, Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto menuturkan, meski secara keseluruhan melambat, pertumbuhan kredit dalam denominasi rupiah pada Juli 2016 masih cukup bagus dan berada di kisaran 9% (yoy), sedangkan kredit dalam valuta asing (valas) hanya tumbuh sebesar 2% (yoy).
Meski penyaluran kredit hingga saat ini (year to date) baru tumbuh di kisaran 2% dibandingkan akhir tahun lalu, BI menurut Erwin masih memperkirakan penyaluran kredit tumbuh di kisaran 7-9%.
Erwin menuturkan, situasi global yang masih lemah membuat banyak perusahaan-perusahaan domestik yang beroritentasi ekspor lebih memilih untuk menurunkan utang di dalam maupun luar negeri, sehingga berdampak pada penurunan permintaan kredit valas perbankan domestik. Selain itu, menurut dia, cukup banyak perusahaan-perusahaan berorientasi ekspor tersebut yang memilih untuk melunasi utangnya lebih awal.
"Pertumbuhan DPK (dana pihak ketiga) yang pada Juli sebesar 5,93% (yoy), itu sebenarnya DPK dalam rupiah tumbuh 9,8% (yoy), tapi DPK valas turun sebesar 9,3% (yoy)," terang dia.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Bidang Pengawasan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nelson Tampubolon menilai, bunga kredit saat ini sudah mengalami tren penurunan, sehingga pihaknya pun optimistis perbankan dapat memberikan bunga kredit pada level satu digit sesuai harapan pemerintah pada tahun depan. Saat ini, menurut dia, bunga kredit pada level satu digit sudah banyak diberikan oleh perbankan terutama pada kredit-kredit di segmen korporasi.
Di sisi lain, menurut Nelson, penurunan bunga kredit memang belum banyak mendorong pertumbuhan kredit perbankan yang saat ini masih tercatat cukup lambat. Kendati demikian, dia berharap pertumbuhan kredit akan membaik pada kuartal ketiga dan keempat tahun ini.
"Tapi memang kalau sebelumnya kami perkirakan kredit akan ada di kisaran 10-12%, kemungkinan pertumbuhannya hingga akhir tahun ini maksimal akan sekitar 10%," terang dia.
"Bunga korporasi sudah single digit, dan kami harapkan menyusul di segmen lain, tapi meman untuk segmen kredit seperti kredit mikro membutuhkan waktu yang lebih panjang," ungkap dia.
Kredit Bermasalah Tinggi, BI Berharap Perbaikan Kualitas | PT Rifan Financindo Berjangka Pusat
Bank Indonesia (BI) mencatat kenaikan rasio kredit bermasalah perbankan atau Non Performing Loan (NPL) dari 3,18 persen ke 3,22 persen per Juli 2016.
Untuk menekan angka NPL yang terus merangkak naik, BI juga berupaya melonggarkan kebijakan makroprudensial. Salah satunya dengan melonggarkan uang muka alias down payment (DP) Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dari 20 persen ke 15 persen.
Dengan pelonggaran kebijakan makroprudensial, BI berharap akan berimbas kepada naiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo mengatakan kenaikan NPL terjadi karena banyak perbankan yang cukup konservatif melakukan pemulihan likuiditasnya.
"Kami melihat ada beberapa bank yang cukup konservatif melakukan upaya penyehatan kualitas kreditnya dengan membangun unit khusus penyehatan kreditnya, dan ini adalah langkah yang baik," ujar Agus dalam konferensi pers, Kamis (22/9).
Kendati demikian, Mantan Menteri Keuangan itu optimistis perbankan lokal masih mampu menyerap risiko kenaikan NPL menggunakan bantalan permodalan yang kuat. Keyakinan itu didorong oleh fakta rasio kecukupan permodalan (CAR) bank saat ini yang mencapai 22,9 persen.
"NPL nett masih 1,5 persen, artinya di Indonesia ada kehati-hatian yang dilakukan oleh perbankan," jelas Agus.
Agus mengatakan perbaikan kualitas kredit perbankan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian global. BI memproyeksi kualitas kredit perbankan bisa menurun akibat pertumbuhan ekonomi dunia yang diperkirakan hanya mencapai 3 persen tahun ini. Proyeksi tersebut turun dari prediksi bank sentral sebelumnya yang mencapai 3,1 persen.
"Kalau AS tumbuh tidak seperti yang diharapkan, pertumbuhan global bisa turun lagi menjadi 2,9 persen, selain itu pertumbuhan ekonomi di China yang tahun ini diperkirakan 6,5 persen bisa turun ke 6,2 persen. Dan ini pasti berdampak ke dunia termasuk Indonesia," terang Agus.
BI : Pertumbuhan Kredit Perbankan Masih Lemah | PT Rifan Financindo Berjangka Pusat
Menurut bank sentral, hingga Juli 2016, pertumbuhan kredit perbankan masih mencapai 7,7 persen secara tahunan atau year on year (yoy).
Bank Indonesia (BI) mengakui pertumbuhan kredit perbankan masih lemah lantaran pengaruh perlambatan ekonomi global.
Capaian pertumbuhan kredit tersebut lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit pada bulan Juni 2016 yang mencapai 8,9 persen secara year on year.
"Kredit belum optimal. kami melihat kondisi ekonomi global masih belum mengalami perbaikan," kata Gubernur BI Agus DW Martowardojo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (22/9/2016).
Agus menyatakan, suku bunga deposito telah turun 100 basis poin namun suku bunga kredit masih terbatas, yakni 52 basis poin.
Meskipun terjadi penurunan suku bunga kredit, namun permintaan kredit belum meningkat. Pasalnya, perbankan juga berhati-hati terhadap rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL).
"Perbankan lebih hati-hati karena NPL sedikit meningkat. NPL sedikit meningkat dari 2,9 persen menjadi 3,2 persen," jelas Agus.
Menurut Agus, perlambatan ekonomi global berpengaruh besar terhadap permintaan kredit, terutama dari valuta asing.
Namun demikian, kata dia, permintaan kredit dalam mata uang rupiah masih dalam kondisi yang cukup baik.
"Permintaan kredit dalam rupiah cukup, tapi outstanding pinjaman dalam valuta asing turun tajam. Karena pinjaman valas turun, pertumbuhan kredit gabungan kelihatan terbatas," ungkap Agus.
Ia memaparkan, kebijakan moneter yang digulirkan BI sebenarnya telah berpengaruh terhadap penurunan suku bunga.