Terbaru

Dalam Sehari Penerimaan Naik Rp11 Triliun, Ini Alasannya

Penerimaan Negara Melesat Naik Dua Kali Lipat Dalam Sehari | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Palembang


PT Rifan Financindo Berjangka Pusat Cabang Palembang


Realisasi penerimaan negara dalam kebijakan pengampunan pajak hingga Jumat (16/9/2016) pukul 00.00 WIB mencapai Rp22,7 triliun. Sekilas angka ini naik melesat lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan hari sebelumnya Rp11,2 triliun.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) memperkirakan pencapaian uang tebusan dari kebijakan ini hanya Rp21 triliun yang terdistribusi Rp18 triliun tahun ini dan Rp3 triliun tahun depan. Sejalan dengan itu, bank sentral juga mengestimasi dana repatriasi dana repatriasi yang akan masuk ke Tanah Air hanya Rp180 triliun.

Selain semakin jauh dari patokan pemerintah, proyeksi terbaru BI ini mengalami koreksi dari estimasi awal dana repatriasi Rp560 triliun dengan uang tebusan sekitar Rp53,4 triliun.

Apa yang menyebabkannya? Ternyata Ditjen Pajak (DJP) menyajikan format baru dalam penyampaian data realisasi penerimaan negara dalam kebijakan tax amnesty ini. Dalam format baru, DJP tidak hanya menyajikan kinerja berdasarkan surat pernyataan harta (SPH) yang disampaikan, tapi juga menyodorkan performa berdasrkan surat setoran pajak (SSP) yang diterima.

Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP mengatakan data SSP merupakan penerimaan yang sebenarnya sudah dibayarkan wajib pajak (WP) lewat perbankan sehingga masuk dalam sistem perbendaharaan dan anggaran negara (SPAN).

Terlepas dari itu, realisasi penerimaan pajak (minus PPh migas) hingga 13 September 2016 mencapai 634,6 triliun atau sekitar 48,1% dari target dalam APBNP 2016 senilai Rp1.318,9 triliun. Performa itu juga masih berada di bawah pertumbuhan alamiahnya karena hanya naik 7% (year on year).

Hingga saat ini, realisasi uang tebusan berdasarkan SPH masih Rp13,1 triliun atau sekitar 7,9% dari target Rp165 triliun. Sementara, jika beradasarkan SPP, realisasi juga masih Rp19,5 triliun. Penerimaan akibat pengentian bukti permulaan senilai Rp0,3 triliun dan pembayaran tunggakan Rp2,9 triliun.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) memperkirakan pencapaian uang tebusan dari kebijakan ini hanya Rp21 triliun yang terdistribusi Rp18 triliun tahun ini dan Rp3 triliun tahun depan. Sejalan dengan itu, bank sentral juga mengestimasi dana repatriasi dana repatriasi yang akan masuk ke Tanah Air hanya Rp180 triliun.

Kendati sudah membayar ke bank persepsi, lanjutnya, WP belum menyampaikan SPH sehingga belum masuk ke data realisasi resmi. Seperti diketahui, salah satu syarat pengajuan SPH yakni melampirkan bukti pelunasan uang tebusan.

“Makanya, yang belum menyampaikan SPH-nya, jangan menunggu akhir September karena akan banyak sekali nanti,” katanya.

Selain itu, data penerimaan tidak hanya mencakup uang tebusan, tapi juga penerimaan yang berasal dari penghentian bukti pemeriksaan dan pembayaran tunggakan pajak dihitung sebagai kinerja tax amnesty.

Seperti diketahui, dalam pasal 8 Undang-Undang No 11 tentang Pengampunan Pajak memang dua bagian itu menjadi persyaratan ikut tax amnesty. Padahal, dalam catatan Bisnis saat awal pembahasan target Rp165 triliun penerimaan dari dua pos tersebut tidak dihitung karena merupakan kinerja reguler atau rutin.

Nyatanya, Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan dua pos tersebut merupakan bagian dari penerimaan negara dalam kebijakan ini. Pihaknya juga mengatakan ada potensi pembayaran tunggakan hingga Rp57 triliun jika seluruh WP yang memiliki tunggakan ikut pengampunan pajak.

Penerimaan Pajak Belum juga Tembus Separuh dari Target 2016 | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Palembang

PT Rifan Financindo Berjangka Pusat Cabang Palembang


Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) melaporkan sampai 13 September 2016 realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp656,11 triliun atau 48,41 persen dari target Rp1.355,2 triliun.

Yon mengungkapkan, secara umum penerimaan pajak tahun ini sedikit lebih baik dari tahun lalu. Kemenkeu sendiri telah memperkirakan bahwa hingga akhir tahun, penerimaan pajak akan kurang (shortfall) sekitar Rp218 triliun atau hanya akan sebesar 83,9 persen menjadi Rp1.137,2 triliun. Prognosa itu telah memperhitungkan risiko perlambatan perekonomian global dan perdagangan internasional. 

Perkiraan realisasi penerimaan pajak itu terdiri dari penerimaan pajak nonmigas sebesar Rp1.105 triliun dan PPh migas sebesar Rp32 triliun

Meski belum menutupi separuh dari target tahunan, namun realisasi tersebut naik 3,9 persen dibandingkan perolehan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp631,63 triliun. 

"Realisasi pajak ini sudah on the track," tutur Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Yon Arsal di Kantor Pusat DJP, Kamis (15/9). 

Berikutnya, pajak bumi dan bangunan (PBB) melonjak 1.884 persen dari Rp771,07 miliar menjadi Rp15,29 triliun sedangkan penerimaan pajak lainnya mencapai Rp5,08 triliun atau naik 39 persen. 

Di sektor migas, penerimaan pajak masih tertekan. Tercatat, penerimaan PPh migas anjlok 42 persen menjadi 21,55 triliun. Realisasi itu setara dengan 59,37 persen dari target Rp36,3 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016. 

Yon mengungkapkan, penerimaan itu sudah memperhitungkan masuknya uang tebusan dari program amnesti pajak berikut pembayaran tunggakan. 

Jika dirinci, realisasi pajak non minyak dan gas (migas) tercatat tumbuh 6,8 persen menjadi Rp634,55 triliun. 

Pajak penghasilan (PPh) non migas tercatat tumbuh 9 persen menjadi Rp374,01 triliun. Sementara, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) turun 3 persen menjadi Rp240,17 turun. Hal ini disebabkan oleh turunnya penerimaan PPN barang impor. 


Kondisi Anggaran Pemerintah Semakin Mengkhawatirkan | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Palembang

PT Rifan Financindo Berjangka Pusat Cabang Palembang


Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan mengatakan, tahun ini tanda-tanda kekurangan arus kas sudah terlihat. Menurut dia, jika melihat data realisasi penerimaan dan belanja negara, maka jumlah defisit yang terjadi tidak mencerminkan jumlah dana yang sebetulnya dimiliki pemerintah.

Dia bilang, ada sejumlah penerimaan yang dicatatkan, tetapi pada kenyataannya dana tersebut tidak pernah masuk ke kantong pemerintah. Seperti pada pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Juli 2016 dari Bank Indonesia (BI).

Sejumlah kalangan mengkhawatirkan kondisi arus kas atau cash flow pemerintah pada akhir tahun ini. Penyebabnya, yakni realisasi belanja negara yang selalu naik pada akhir tahun, tetapi tidak diiringi dengan kenaikan pendapatan negara, meski ada program amnesti pajak.

Di Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016, pemerintah menargetkan PNBP dari penempatan uang negara di BI sebesar Rp 2,5 triliun. Sampai akhir Juni 2016, realisasinya mencapai Rp 1,48 triliun sehingga semester II-2016 diprediksi ada tambahan PNBP sebesar Rp 1,02 triliun.

Penerimaan itu ada karena BI kelebihan rasio aset di atas 10 persen. Menurut aturan, kelebihan itu harus diberikan kepada pemerintah. Namun, pembayaran atas kelebihan itu hanya mampir karena pemerintah kembali membayarkannya ke BI untuk pembayaran atas kepemilikan Surat Berharga Bank Indonesia.

Data realisasi penerimaan dan belanja APBN-P 2016 per 5 Agustus 2016 menyebutkan, defisit APBN-P sudah mencapai 2,08 persen terhadap Produk Domestik Bruto dengan nilai nominal Rp 88,5 triliun. Defisit ini naik karena jumlah penerimaan hanya sebesar Rp 775,2 triliun, lebih rendah dari belanja yang mencapai Rp 1.037 trilun.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengakui realisasi penerimaan negara masih di bawah harapan. Padahal, uang tebusan itu diharapkan menutupi kebutuhan kas reguler.

Kekhawatiran kondisi arus kas pemerintah juga dipicu masih rendahnya realisasi uang tebusan dari kebijakan pengampunan pajak. Sampai Selasa (13/9/2016) malam, realisasi uang tebusan yang berhasil diterima hanya sebesar Rp 9,31 triliun atau 5,6 persen target pemerintah Rp 165 triliun.

Namun, menurut Suahasil, pemerintah tidak hanya fokus pada amnesti pajak. "Kami selalu cocokkan penerimaan amnesti pajak dan pajak reguler dengan keperluan belanja per bulan," katanya. Sejauh ini, menurut dia, arus kas pemerintah masih cukup.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo memperkirakan, hingga akhir September 2016, jumlah uang tebusan dari amnesti pajak hanya sekitar Rp 35 triliun. 

Yustinus meminta pemerintah segera mengejar sumber penerimaan pajak lainnya untuk menutup target penerimaan pajak tahun ini.

Defisit ditutupi melalui pembiayaan yang tercatat sebesar Rp 299,2 triliun. "Kita bekerja agar target penerimaan pajak tercapai," ujar Dirjen Pajak Ken Dwijugiasetiadi.