Terbaru

Cukai Rokok 2017 Tak Naik, Pemerintah Manjakan Pengusaha

Tahun 2016 11,19 persen, tahun 2017 direncanakan 10,54 persen | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Surabaya

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Surabaya


Dalam konteks kesehatan untuk perlindungan pada masyarakat konsumen dan dengan perspektif finansial ekonomi, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai besaran kenaikan cukai rokok pada 2017, terlalu konservatif.

"Kenaikan cukai rokok terlalu konservatif karena ada tiga hal," kata Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi dalam keterangan pers, Jumat, 30 September 2016.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menaikkan cukai rokok pada tahun 2017 sebesar rata-rata 10,54 persen.

Menurut YLKI, kenaikan cukai rokok sangat tidak berpihak pada perlindungan masyarakat konsumen yang terdampak akibat konsumsi rokok, baik dampak kesehatan atau dampak ekonomi.

Pertama, Tulus menyebut, rencana kenaikan itu lebih rendah dibandingkan tarif yang diberlakukan tahun 2016 yakni sebesar 11,19 persen.

Tulus menilai, jika hanya memperhatikan aspek pertumbuhan ekonomi plus inflasi maka hal itu berarti tidak akan mengurangi affordability atau daya beli.

Dengan rendahnya kenaikan cukai rokok yang hanya 10,54 persen, tidak akan mampu menahan laju konsumsi masyarakat. Artinya, cukai sebagai instrumen pengendali konsumsi rokok akan gagal karena persentasenya terlalu rendah.

"Oleh karenanya, kenaikan cukai minimal harus dua kali lipatnya yakni 20 persen (pertumbuhan ekonomi dan inflasi)," ujar Tulus.

Kedua, kata dia, kenaikan cukai ini juga terlalu berpihak terhadap kepentingan industri rokok.

"Kenapa untuk kenaikan tahun depan sudah diumumkan jauh-jauh hari? Dengan diumumkan sekarang, industri rokok bisa memproduksi sebanyak-banyaknya (menimbun), mumpung cukainya belum naik," ujarnya.

Ketiga, Tulus menilai, kenaikan cukai 10,54 persen juga tidak sejalan dengan aspirasi publik. Terbukti bahwa mayoritas masyarakat Indonesia kata dia mendukung agar cukai dan harga rokok dinaikkan secara signifikan untuk memproteksi masyarakat dari bahaya rokok. Selain itu untuk membentengi rumah tangga miskin agar tidak semakin miskin akibat konsumsi rokok.
"YLKI mendesak rencana kenaikan itu diubah menjadi minimal 20 persen," katanya. 

Kenaikan Cukai Rokok Sumbang Inflasi 0,23 Persen | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Surabaya

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Surabaya


Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, kenaikan cukai memang akan berimbas pada naiknya inflasi, akibat penyerapan produk rokok di pasar yang masih tinggi. Meski begitu, Sri mengaku belum ada perhitungan rinci soal imbas kenaikan cukai rokok terhadap angka kemiskinan. 

Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai rokok tahun 2017 mendatang dengan tarif tertinggi naik 13,46 persen. Kenaikan teresebut berlaku untuk jenis hasil tembakau Sigaret Putih Mesin (SPM). Sedangkan kenaikan tarif cukai terendah sebesar 0 (nol) persen berlaku untuk hasil tembakau Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan IIIB. 

Kenaikan cukai hasil tembakau yang ditetapkan pada tahun depan diproyeksikan akan menyumbang inflasi sebesar 0,23 persen. Angka tersebut didapat dari kenaikan tarif hasil tembakau yang ditetapkan, dengan kenaikan rata-rata tertimbang untuk seluruh jenis hasil tembakau sebesar 10,54 persen

"Kemiskinan kita harus hitung lagi, karena tentu saja kalau konsumsi turun dengan kenaikan dan peredaran bisa dibatasi kesehatan membaik, kemiskinan membaik, tapi demografi kita harus cek," ujar Sri di Kantor Ditjen Bea dan Cukai, Jakarta, Jumat (30/9).

Menurut Sri, dalam menentukan tarif cukai hasil tembakau pemerintah harus memperhatikan lima aspek yakni pengendalian produksi, faktor kesehatan, keterjagaan jumlah tenaga kerja, pencegahan peredaran rokok ilegal, dan penerimaan negara dari cukai. Kebijakan ini sekaligus menaikkan harga jual eceran (HJE) rokok dengan rata-rata kenaikan 12,26 persen.

Selain itu, Sri juga menjelaskan mengapa pemerintah belum bisa menaikkan cukai rokok di atas 15 persen. Padahal dorongan untuk menaikkan cukai rokok semakin tinggi selama dua bulan terakhir, setelah ada wacana untuk menaikkan cukai rokok hingga harga rokok menyentuh Rp 50 ribu per bungkus.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, langkah yang ia ambil untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau menjawab keresahan masyarakat selama beberapa bulan belakangan soal kebijakan cukai rokok. Ia mengaku, pemerintah harus mengakomodir seluruh aspek yang ada, baik aspek kesehatan dan upaya pengendalian , namun di sisi lain pemerintah menjaga keberlangsungan industri rokok yang berimbas kepada 6 juta tenaga kerja.

"Keputusan itu dibuat dengan pertimbangkan kelima aspek yang saya sebutkan sebelumnya dari aspek kesehatan, tenaga kerja, penangan rokok ilegal, aspek penerimaan negara, dan earnmarking (pengalokasian anggaran untuk perubahan industri rokok dari sisi kesehatan)," ujar Sri. 

Sri menjelaskan, selama 10 tahun belakangan pertumbuhan produksi hasil tembakau dapat dikendalikan dengan tren penurunan produksi sebesar -0,28 persen. Bila dikombinasikan dengan pertumbuhan jumlah penduduk sebesar 1,4 persen per tahunnya, Sri menilai bahwa pengendalian produksi rokok selama ini cukup berhasil.

Sri mengungkapkan, pemerintah menyadari bahwa komoditas hasil tembakau memiliki imbas yang buruk untuk kesehatan masyarakat. Namun menurutnya, langkah pengendalian selama ini dilakukan pemerintah melalui keberadaan tarif cukai rokok yang trennya meningkat dari tahun ke tahun. Di satu sisi, kata Sri, pemerintah memiliki peran penting untuk memikirkan nasib pekerja yang selama ini menggantungkan hidup di industri rokok.

Soal penerimaan negara, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa kontribusi cukai terhadap APBN hingga kini berada pada kisaran 10 hingga 12 persen. Sementara untuk tahun 2014 kontribusi cukai terhadap APBN adalah sebesar 12,29 persen, tahun 2015 sebesar 11,68 persen, dan tahun 2016 sebesar 11,72 persen.

Ditilik dari penyerapan tenaga kerja, Kemenkeu mencatatkan ada 401.989 orang yang terlibat langsung dalam industri ini. Sementara 0,75 persen dari jumlah tersebut atau 291.824 orang bekerja di industri sigaret kretek tangan yang merupakan industri padat karya. Bahkan kalau ditambah dengan keberadaan sektor informal, industri rokok menyangkut nasib 6 juta orang.

Pemerintah Bakal Data Mesin Pembuat Rokok | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Surabaya

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Surabaya


Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, hal ini sejalan dengan data intelijen dan hasil survei yang menunjukkan pelanggaran yang paling besar adalah rokok sigaret kretek mesin (SKM).

Untuk menjamin efektivitas dan juga menghasilkan efek jangka panjang yang diharapkan, kata Sri Mulyani, Bea Cukai akan mendata mesin pembuat rokok. Bea Cukai akan bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan instansi lainnya.

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea Cukai akan meningkatkan pengawasan, khususnya terkait dengan peredaran mesin pembuat rokok. Hal ini dilakukan untuk mengamankan kebijakan di bidang cukai mulai tahun ini. 

"Kalau dilihat, mesin (pembuat rokok) itu bisa berpindah-pindah dari rumah ke rumah, ke lurah, ke kecamatan, dan kota lain. Ini tantangan besar bagi kami untuk melakukan penegakan hukum di bidang penanganan rokok ilegal," ujarnya, Jumat (30/9).

Hingga 29 September 2016 saja, Bea Cukai telah meiakukan penindakan terhadap 1.593 kasus hasil tembakau ilegal. Angka tersebut meningkat 1,29 kali dibanding penindakan di sepanjang tahun 2015 (1.232 kasus) dan 1,76 kali dibanding penindakan sepanjang tahun 2014 (901 kasus).

la juga mengaitkan data tersebut dengan Studi tim PSEKP UGM tahun 2015 yang menyebutkan bahwa peningkatan pengawasan berpengaruh positif terhadap efektivitas kebijakan cukai.

Berdasarkan hasil penindakan yang dilaksanakan di Jakarta, dan Klaten, Jawa Tengah, Bea Cukai menunjukkan hasil tangkapan berupa rokok ilegal sejumlah 11.266.600 batang serta satu unit mesin pembuat rokok merek Shenzen dengan kapasitas produksi sebanyak 1.500 batang rokok per menit.

Adapun, sejak Januari 2016 sampai saat ini, Bea Cukai berhasil mengamankan 176,22 juta batang rokok senilai Rp135,55 miliar, di mana jumlah pelanggaran terbanyak berasal dari jenis rokok yang diproduksi dengan mesin.