Terbaru

IMF: Kebijakan Perdagangan AS Ganggu Ekonomi Global

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Axa


Proyeksi pertumbuhan ekonomi global meningkat namun banyak risiko | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Axa


Dilansir dari CNBC pada Rabu 19 April 2017, proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan proyeksi Oktober 2016 lalu. Di mana hal itu di dorong oleh kondisi ekonomi makro yang berbeda, seperti ekspor komoditas dan tingkat investasi yang tumbuh di negara maju.

Sementara itu, pada laporannya kali ini, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5,1 persen pada 2017 dan 5,3 persen pada 2018. Proyeksi tersebut tentunya lebih rendah dibandingkan laporan pada Oktober 2016 lalu yang perkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,3 persen pada 2017. 

Selain itu, IMF juga memperkirakan sepanjang tahun ini neraca transaksi berjalan Indonesia akan defisit sebesar 1,9 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan defisit akan meningkat menjadi 2 persen terhadap PDB pada 2018. Sedangkan, inflasi diperkirakan mencapai 4,5 persen pada 2017 dan 2018.

Dana Moneter Internasional atau IMF kembali mengeluarkan laporan World Economic Outlook terbaru pada April 2017. Kali ini IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global dapat mencapai sebesar 3,5 persen pada 2017 dan sebesar 3,6 persen pada 2018.

Selain itu, langkah bank sentral AS yang akan menaikkan suku bunga acuaannya lebih cepat, menurut IMF juga akan membuat ekonomi dunia alami risiko. Sebab, mata uang dolar Amerika Serikat akan menguat tajam, sehingga bisa menyakitkan negara berkembang.

"Dengan menguatnya mata uang dolar AS tentu ini akan beratkan tingkat utang mereka (negara berkembang), karena nilainya akan meningkat seiring penggunaan pinjaman tersebut dalam mata uang dolar," tulis IMF.

Dalam proyeksi tersebut, IMF menyatakan meski ada peningkatan pertumbuhan ekonomi pada 2017 dan 2018, kondisi ekonomi dunia masih miliki risiko untuk alami penurunan. Terlebih hal itu dorong oleh isu-isu struktural yang dapat menahan pembangunan ekonomi di setiap negara. 

"Dengan masalah struktural terus menerus membuat produktivitas pertumbuhan menjadi rendah dan tingkat ketimpangan pendapatan meningkat di negara maju. Hal itu mengancam integrasi ekonomi dunia, terutama negara berkembang untuk tumbuh lebih baik," jelas IMF dalam laporannya.

IMF menilai isu proteksionisme perdagangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat belakangan ini juga akan membuat proyeksi ekonomi dunia miliki risiko cukup besar ke depan, bahkan risiko itu justru membuat pertumbuhan global menjadi lebih rendah karena arus perdagangan dan investasi menjadi terbatas.

Keluar dari Uni Eropa, Ekonomi Inggris Diproyeksi Meroket | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Axa


Dilansir dari Business Insider pada Rabu 19 April 2017, dalam laporan World Economic Outlook IMF disebutkan, kenaikan proyeksi pertumbuhan ekonomi Inggris tahun ini disebabkan oleh kepercayaan pasar yang meningkat, terlebih Inggris dinilai dapat menghadapi guncangan perekonomian usai keluar dari Uni Eropa atau Brexit dalam jangka pendek.

Sementara itu, untuk proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2017, IMF masih melihat kondisi ekonomi dunia masih diliputi risiko dalam jangka menengah dan panjang. Kondisi tersebut menjadi peringatan semua negara, karena bisa saja dapat mengganggu stabilitas ekonomi dalam negeri.

Dengan kondisi pasar keuangan yang mengapung dan pemulihan di bidang manufaktur dan perdagangan yang masih lama, maka pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksi IMF sebesar 3,5 persen pada 2017 dan 3,6 persen pada 2018

Dana Moneter Internasional atau IMF kembali menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Inggris pada 2017 untuk pertama kalinya, sejak negara tersebut menyatakan keluar dari Uni Eropa. IMF memproyeksikan ekonomi Inggris tumbuh 2 persen tahun ini atau naik dari proyeksi tiga bulan sebelumnya yang sebesar 1,5 persen.

Kondisi tersebut tentunya sangat menarik perhatian, sebab sebelumnya pada Oktober 2016, usai jajak pendapat, IMF sempat memangkas proyeksi pertumbuhan Inggris sebesar 0,2 persen dari proyeksi sebelumnya. Saat itu, diperkirakan pertumbuhan ekonomi Inggris 2017 hanya sebesar 1,1 persen.   

"Kami revisi ke atas perkiraan 2017 menjadi dinaikkan 0,9 persen dan pada 2018 akan sedikit turun 0,2 persen, tapi masih mencerminkan kinerja yang kuat terhadap perekonomian Inggris sejak Brexit. Hal ini menandakan Inggris telah mengantisipasi efek negatif dari keputusannya meninggalkan Uni Eropa," tutur IMF.

IMF: Pulihnya Harga Komoditas Topang Pertumbuhan Ekonomi Negara Berkembang | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Axa


Kebangkitan di sejumlah raksasa negara berkembang seperti Rusia dan Brazil menjadi pendorong utama kebangkitan negara berkembang. Pulihnya harga komoditas diperkirakan menjadi penopang pulihnya perekonomian kedua negara itu.

Adapun, kelompok Asean 5 yang terdiri dari Thailand, Malaysia, Filipina, Vietnam dan Indonesia diperkirakan akan tetap mengalami pertumbuhan yang cenderung moderat.

Adapun ancaman bagi negara berkembang, menurut Obstfeld, akan muncul dari proses normalisasi moneter Bank Sentral AS. Pelarian arus modal keluar dalam bentuk dolar AS akan terus terjadi seiring kenaikan bertahap pada suku bunga The Fed.

Selain itu momentum baik ini berpeluang gagal berlanjut apabila AS melakukan proteksi perdagangan. Di sisi lain, ancaman juga akan datang jika proses reorientasi ekonomi China dari berbasis industri ke jasa dan konsumsi gagal berjalan dengan mulus.

Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi untuk kawasan negara berkembang masih cukup kuat pada 2017-2018.

Dalam keterangan resminya yang dikutip Rabu (19/4/2017), IMF memproyeksikan, pada 2017 kawasan tersebut akan tumbuh 4,5% atau naik dari tahun sebelumnya yang mencapai 4,1%. Selanjutnya pada 2018, PDB kawasan ini akan kembali tumbuh hingga 4,8%.

Pada tahun ini kawasan tersebut akan mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,0% atau naik dari 2016 sebesar 4,9%. Sedangkan untuk 2018 pertumbuhan ekonomi akan menembus 5,2%. Derasnya arus investasi dan pulihnya harga komoditas menjadi salah satu alasan kuat mengapa kawasan ini kembali melanjutkan pertumbuhan ekonominya.

“Namun demikian, ancaman pada ekonomi dunia masih cukup besar. Kombinasi dari cuaca buruk, kerusuhan sipil dan kelaparan massal akan menggangu pertumbuhan ekonomi di sejumlah kawasan,” lanjutnya.