Terbaru

Isu SARA dan Radikalisme Berpengaruh Buruk pada Investasi

Investor asal China yang mengurungkan niatnya berinvestasi di Indonesia | PT Rifan Financindo Berjangka

PT Rifan Financindo Berjangka

Staf Ahli Wakil Presiden RI Sofjan Wanandi mengatakan, potensi hadirnya gerakan radikal dan berkembangnya isu SARA yang marak belakangan ini berdampak terhadap pertumbuhan investasi.

Akibatnya dana investasi hanya disimpan di bank dan belum diarahkan ke sektor riil.

"Ada kekhawatiran investor asal China sehingga uang masih disimpan di perbankan belum investasi ke sektor riil. Jadi belum bisa mengatasi ketimpangan," ujar Sofjan dalam diskusi bertajuk 'SARA, Radikalisme dan Prospek Ekonomi Indonesia 2017' di Graha CIMB Niaga, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (23/1/2017).

Menurut Sofjan, dinamika politik yang berujung pada maraknya isu SARA berefek pada kekhawatiran investor asal China yang berniat menanamkan modal.  

Mereka memilih untuk menunggu sampai situasi politik benar-benar dianggap kondusif.

"Investor China memang sebagian mundur. Wait and see. Kalau ini bergulir ditambah hoax akan semakin parah," tuturnya.

Bahkan, lanjut Sofjan, tidak sedikit investor asal China yang mengurungkan niatnya berinvestasi di Indonesia.

Target pemerintah mendatangkan 10 juta wisatawan asal China pun terhambat. "Masalah politik bergulir dan bisa berdampak pada ekonomi. Begitu banyak isu SARA. Bahkan turis dari China pun enggan untuk datang ke Indonesia," kata Sofjan.

Selain berdampak pada sektor ekonomi, isu radikalisme juga memengaruhi sektor pariwisata.

Senada, staf ahli Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Bobby Harafinus mengatakan, maraknya isu SARA belakangan ini memberi dampak pada sektor perekonomian meski tidak perlu dikhawatirkan.

"Isu SARA dan radikalisme berdampak terhadap pasar keuangan. Perubahan yang menyolok itu di pasar modal. Memang belum berpengaruh secara umum terhadap perekonomian Indonesia," ujar Bobby.

60% Lulusan SD dan SMP, Angkatan Kerja di RI Rentan Isu SARA | PT Rifan Financindo Berjangka

PT Rifan Financindo Berjangka

Mayoritas pekerja di Indonesia masih didominasi lulusan SD dan SMP. Menurut Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri, dari 125 juta angkatan kerja, 60% hanya lulusan SD dan SMP.

"Kita ini, total angkatan 125 juta, 60% lulusan SD, SMP, itu dia untuk masuk ke lapangan kerja susah karena tidak punya keterampilan," kata Hanif saat acara Sara, Radikalisme dan Prospek Ekonomi 2017, Jakarta, Senin (23/1/2017).

Hanif mengatakan, kondisi ini sangat rentan terpengaruh isu SARA dan radikalisme. Pasalnya, lulusan SD dan SMP tidak memiliki keterampilan lebih, dengan begitu tingkat kesejahteraannya cukup rendah.

Pemerintah akan memberikan akses pelatihan bagi para masyarakat Indonesia, salah satunya keterampilan yang lebih diutamakan. Menurut Hanif, kebutuhan tenaga kerja di Indonesia masih belum sejalan dengan pendidikan formal yang selama ini diemban.

"Selama ini terlalu banyak pendidikan formal. Misal pendidikan tinggi, di China, penduduk 1,4 miliar, perguruan tinggi 2.000-an, kita 250 juta, perguruan tinggi 4.000-an. dua kali lipat. Orientasi di formal yang dari segi kurikulum, belum karena demand. Jadi mix matchn-ya itu, dengan kualitas seperti apa," jelasnya.

Dari 60% pekerja yang lulusan SD dan SMP, kata Hanif, terdapat 7 juta pengangguran yang mana 4 jutanya berusia 15-24 tahun. Sektor ini menjadi rentan dari segi perekonomian yang akan disusupi berbagai macam isu, seperti sara dan radikalisme.

"Makanya pemerintah meng-handle isu ini salah satunya memberikan akses mutu pelatihan kerja, karena mereka belum punya keterampilan, untuk masuk ke level yang lebih tinggi," tambahnya.

SARA dan Radikalisme Belum Turunkan Performa Perekonomian | PT Rifan Financindo Berjangka

PT Rifan Financindo Berjangka

Bobby Hamzar Rafinus, Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, mengatakan fenomena perlambatan ekonomi lebih dipengaruhi oleh pergerakan global yang masih cenderung melemah. Pertumbuhan ekonomi masih akan berada di level kisaran 5% karena dunia yang masih melambat. 

Pemerintah menilai isu suku, agama, ras, dan antargolongan, serta radikalisme yang menjelang akhir tahun lalu hingga saat ini belum menurunkan peforma perekonomian dalam negeri.

Dia mengatakan pemerintah akan menjaga stabilitas ekonomi pada tahun ini dengan mendukung program-program yang berurusan pada pengamanan laju inflasi, neraca pembayaran, anggaran pendapatan dan belanja negara, dan mengembangkan vokasi bagi angkatan kerja.

"Kami melihat masalah SARA dan radikalisme masih pada  sentimen bukan performa ekonomi secara umum," ujarnya.

Tahun ini, Bobby memperkirakan sektor keuangan akan meningkat pada tahun ini ditakbang dengan arus modal yang tinggi. Namun, pemerintah juga akan mengantisipasi gejolak global terutama yang datang dari Amerika Serikat setelah Donald Trump menjabat menjadi presiden.

Menurutnya, aksi radikalisme hanya memberikan sentimen pada pergerakan pasar modal dan pasar keuangan yang bersfiat temporer. Sentimen itu mulai terjadi sejak peristiwa bom Thamrin pada 14 Januari 2016 yang membuat Indeks Harga Saham Gabungan melemah sebesae 77,86 poin atau 1,72% di level 4.459,32. 

"Kalau kita lihat dari mulai terjadinya bom di Thamrin, kemudian demo di November 2016 dan Desember 2016, indikator yang menyolok berubah adalah pasar modal dan pasar keuangan," katanya dalam Acara Diskusi Panel SARA, Radikalisme, dan Prospek Ekonomi Indonesia 2017, di Jakarta, Senin (23/1/2017).