BI terus memantau kondisi perekonomian internasional setelah pelantikan Trump | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Bandung
Berbagai kebijakan taipan 70 tahun itu diperkirakan berpengaruh pada perekonomian Indonesia. Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung menyatakan, ada tiga hal yang diwaspadai BI.
Bank Indonesia (BI) akan terus memantau kondisi perekonomian internasional setelah pelantikan Presiden Amerika Serikat Donald Trump Kamis (20/1) ini waktu Negeri Paman Sam.
Yakni, kebijakan fiskal, perdagangan, serta respons kebijakan moneter dari fiskal yang ditentukan pemerintahan AS. Dari sisi fiskal, BI menilai kebijakan fiskal yang sangat agresif seperti yang dikampanyekan Trump kurang feasible.
Dia melihat ruang manuver bagi kebijakan fiskal di AS tidak seagresif yang diperkirakan. Namun, kebijakan perdagangan yang bakal diambil Trump dan kabinetnya perlu diperhatikan. Apalagi, Trump berwenang memutuskan unilateral trade policy pada negara-negara yang dianggap tidak bisa memberikan kebijakan perdagangan yang menguntungkan AS.
Alasannya adalah defisit anggaran AS 4,4 persen dari PDB (produk domestik bruto). ’’Utang government-nya 106 persen dari PDB. Sangat besar,’’ ujar Juda saat konferensi pers, Rabu (19/1) kemarin.
Yang disebut sebagai currency manipulator, berdasar kriteria US Treasury, adalah negara-negara yang memiliki surplus neraca perdagangan dengan AS lebih dari USD 20 miliar. Selain itu, surplus transaksi berjalan lebih dari 3 persen dan pembelian transaksi valas oleh pemerintah maupun bank sentral untuk mengintervensi mata uangnya (net foreign exchange purchase) lebih dari 2 persen terhadap PDB.
Dampak kebijakan Trump mungkin dirasakan negara-negara yang dianggap memanipulasi nilai tukar untuk menguntungkan perdagangan dalam negerinya (currency manipulator).
Berdasar kriteria tersebut, negara-negara seperti Vietnam, Korea Selatan, Thailand, Taiwan, dan Hongkong mempunyai risiko lebih besar untuk masuk sebagai negara-negara currency manipulator. ’’Indonesia tidak termasuk negara yang rentan terhadap kemungkinan proteksionismenya perdagangan AS. Tapi, kita tetap waspada terhadap pernyataan yang disampaikan di pidato Trump besok (hari ini, Red),’’ tutur Juda.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengungkapkan, perbaikan ekonomi AS tahun lalu dipengaruhi peningkatan investasi dan tingkat pengangguran yang rendah. Indonesia memang sempat mengalami penurunan nilai tukar setelah pengumuman pilpres AS pada November 2016.
BI, kata dia, akan terus memantau kondisi keuangan global dan tetap melakukan stabilisasi nilai tukar secara fundamental. Dari sisi suku bunga, BI tetap mempertahankan BI 7-days reverse repo rate di level 4,75 persen. Suku bunga deposit facility dipertahankan di level 4 persen dan lending facility 5,5 persen.
Namun, pada akhir Desember 2016, secara point-to-point rupiah terapresiasi 0,59 persen (mtm) menjadi Rp 13.473 per USD. Penguatan itu terjadi berkat peningkatan aliran dana masuk, terutama dari surat utang negara (SUN). Ditambah lagi, outflow di pasar saham berkurang setelah kenaikan Fed fund rate. Capital inflow pun lebih terdorong pada akhir Desember 2016.
“Selama 2016 rupiah menguat 2,32 persen secara year to date (ytd), terutama didukung persepsi positif investor terhadap perekonomian domestik yang kemudian mendorong aliran dana masuk,’’ ungkap Tirta.
BI Yakin Kebijakan Fiskal AS Tak Akan Agresif | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Bandung
Juda Agung, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, mengatakan risiko global masih dari dari arah kebijakan Trump baik fiskal maupun perdagangan. Kendati berjaga-jaga, bank sentral menilai kebijakan fiskal AS yang dikampanyekan Trump kurang layak untuk diimplementasikan.
"Indonesia tidak masuk negara yang rentan terhadap kemungkinan proteksionis. China tidak masuk di dalam negara yang berpotensi untuk terkena. Tapi kebijakan unilateral bisa. Ini yang kami tunggu," katanya, di Jakarta, Kamis (19/1/2017).
Dia menuturkan defisit anggaran AS telah mencapai level 4,4% dan utang pemerintahnya telah menembus 106% dari Produk Domestik Bruto (PDB) sehingga ruang manuver bagi fiskal tidak akan agresif. Sementara, kebijakan perdagangan Trump bisa berdampak besar karena presiden AS memiliki kewenangan untuk menghentikan sepihak perjanjian perdagangan terhadap negara yang tidak menguntungkan bagi ekonomi AS.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Sagara menuturkan ekspor diperkirakan meningkat seiring tren kenaikan harga minyak dunia sehingga harga komoditas ekspor dalam negeri seperti batu bara, tembaga, dan timah dapat terkerek naik.Â
"Neraca pembayaran diperkirakan mengalami surplus, terutama ditopang oleh transaksi modal dan finansial yang mencatat surplus cukup besar dan membaiknya kinerja ekspor," ucapnya.
Pada 2017, pemulihan ekonomi diperkirakan terus berlanjut didorong oleh membaiknya kinerja ekspor. Neraca pembayaran Indonesia pada kuartal IV/2016 diprediksi akan mencatat surplus cukup besar dan defisit transaksi berjalan yang lebih rendah di bawah 2%.
Trump Diprediksi Bakal Lebih Jinak Berpidato Nanti Malam | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Bandung
Bank Indonesia (BI) memproyeksi rencana kebijakan fiskal dan pembatasan perdagangan yang akan diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih Donald Trump tidak akan sepenuhnya direalisasikan. Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung mengatakan dua kebijakan Trump yang menonjol, yakni kebijakan fiskal dan perdagangan yang proteksionis tidak akan sepenuhnya dirasakan negara-negara mitra AS.
Prediksi tersebut, dikarenakan defisit anggaran AS tercatat sebesar 4,4 persen dan utang pemerintah sudah mencapai 106 persen dari PDB. Sehingga pemerintah AS hanya memiliki ruang manuver fiskal yang sempit.
“Perkiraan kami, kebijakan fiskal yang sangat agresif seperti yang dikampanyekan tampaknya secara ekonomi kurang feasible," ujar Juda, kemarin.
"Mungkin tidak seagresif yang disampaikan pada kampanye," katanya.
Juda mengatakan, negara-negara seperti Vietnam, Thailand, Korea, Taiwan dan Hong Kong justru berpotensi memiliki risiko lebih besar terhadap dampak kebijakan proteksionis Trump karena negara-negara tersebut masuk kategori negara yang memanipulasi nilai tukar.
"Indonesia sebenarnya tidak masuk negara yang rentan dari kebijakan perdagangan yang dianggap memanipulasi nilai tukar, seperti misal Vietnam, Thailand berisiko besar. China kalau dari kriteria negara currency manipulated, China tidak masuk kena. Tapi kebijakan unilateral bisa saja dilakukan. Ini yang kami tunggu di pidato Trump besok," pungkasnya
Meski demikian, BI tetap mewaspadai berbagai kemungkinan yang terjadi. Pasalnya, kata Juda, akan memberikan dampak besar terhadap negara-negara yang dianggap memanipulasi nilai tukar.
Hanya saja, sebagai negara adidaya, Amerika Serikat memiliki kebijakan unilateral untuk mengontrol negara lain yang dianggap kebijakan perdagangannya tidak menguntungkan AS.