Kebutuhan AMDK di dalam negeri tahun menembus 27,2 miliar liter | PT Rifan Financindo Berjangka
Direktur Operasional Tanobel Eko Susilo menuturkan, tingginya permintaan AMDK di berbagai daerah membuat produksi harus berlipat ganda. Pihaknya saja tahun ini memproduksi sampai 2 miliar liter AMDK. Tingginya permintaan dari konsumen, maka produksi harus ditingkatkan menjadi 4 miliar liter tiap tahun. “Meskipun mulai banyak produk dari luar negeri, tapi pasar AMDK terus tumbuh. Jadi tiap tahun selalu ada penambahan volume produksi,” ujar Eko.
“Bulan depan ada penambahan satu pabrik. Sementara di awal 2017 ada penambahan lagi tiga pabrik. Sehingga total tahun depan sudah ada 22 pabrik yang akan memenuhi pasar AMDK di dalam negeri,” ungkapnya.
Potensi pasar lokal untuk air minum dalam kemasan (AMDK) terus melejit. Sampai akhir tahun, pertumbuhan AMDK mencapai 10 persen bila dibandingkan tahun sebelumnya. Kebutuhan AMDK di dalam negeri tahun ini menembus 27,2 miliar liter.
Dia melanjutkan, sampai saat ini ada sekitar 800 pabrik yang memproduksi AMDK dengan 1.400 merek yang beredar di pasaran. Jumlah itu tetap masih kurang untuk memenuhi pasar di dalam negeri. Salah satu pilihan yang diambil adalah membangun pabrik baru di tiap wilayah untuk mendekatkan diri pada konsumen.
Founder Tanobel Hermanto Tanoko menuturkan, masyarakat saat ini sudah memahami kebutuhan air bersih yang layak untuk minum. Makanya kebutuhan pasar di dalam negeri tiap tahun terus meningkat.
Untuk target pembangunan pabrik baru, katanya, pihaknya fokus di setiap 100 KM harus ada. Pembangunan pabrik di berbagai penjuru nusantara dipercaya mampu mengurangi biaya distribusi yang semakin hari semakin mahal. Untuk tiap pabrik sendiri pihaknya mengeluarkan investasi mencapai Rp25 miliar.
Dalam beberapa tahun ini, pihaknya memaksimalkan dulu pasar AMDK dalam negeri yang kompetitif. Baru setelah terbangun banyak pabrik di berbagai kabupaten/ kota di Indonesia, pihaknya akan merambah pangsa pasar di luar negeri. “Tunggu sampai terbangun 60 pabrik dulu, baru nanti akan ekspor ke luar negeri,” jelasnya.
Selama ini, biaya transportasi khusus Cleo memang lebih mahal dibanding AMDK lainnya. Pasalnya, pihaknya menjaga kualitas air murni yang dijual. Penerapan di lapangan pun truk pembawa Cleo harus tertutup terpal serta tak boleh terkena sinar matahari langsung.
“Kualitas air murni yang kami jual tidak diturunkan untuk memangkas biaya. Tapi kami fokus dalam pemangkasan di wilayah transportasi dengan cara pendirian pabrik yang dekat dengan konsumen,” jelasnya.
“Cleo memiiki standar mikron yang tinggi agar air yang dihasilkan benar-benar murni dan layak diminum dengan aman. Cleo bukan air mineral, sebab saat ini belum ada pabrik air minum yang bisa memisahkan mineral organik dengan anorganik,” jelasnya.
Untuk bersaing dengan produk luar negeri, lanjutnya, pihaknya tetap fokus dalam menjaga kualitas air murni. Selama ini, Cleo tidak menjual air mineral, tapi air murni yang memiliki banyak manfaat. Untuk memperoleh air murni sendiri dari 100 persen air yang diproses, pihaknya mendapatkan 70 persen saja.
Obligasi Bank Panin Tawarkan Bunga 8,75% | PT Rifan Financindo Berjangka
PT Bank PaninIndonesia Tbk (PNBN) menerbitkan surat utang atau obligasi. Dalam aksi tersebut perseroan menawarkan bunga sebesar 8,75%untuk penawaran obligasi berkelanjutan II Tahap II Tahun 2016 senilai Rp2,125 triliun.Informasi tersebut disampaikan perseroan dalam siaran persnya di Jakarta, kemarin.
Di mana, masa penawaran dilakukan pada 21-24 Oktober 2016 dan pencatatan di BEI pada 28 Oktober 2016. Dana yang diperoleh hasil emisi obligasi digunakan untuk modal kerja.Sebagai informasi, sampai akhir tahun ini pasar obligasi korporasi masih akan ramai seiring dengan gencarnya ekspansi bisnis perseroan.
Obligasi tersebut memilki jangka waktu 3 tahun dimana pembayaran bunga pertama pada 27 Januari 2017. Dalam hal ini, Pefindo memberikan peringkat idAA untuk obligasi ini. Danareksa Sekuritas, Evergreen Capital, Indo Premier Securities, RHB Securities Indonesia dan Trimegah Sekuritas Indonesia menjadi wali amanat Bank Mandiri.
Direktur Utama PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Salyadi Saputra pernah bilang, potensi penerbitan obligasi korporasi tahun ini diperkirakan mencapai Rp 110 triliun, meningkat dibanding tahun lalu sebesar Rp 62,57 triliun. Peningkatan penerbitan obligasi dipengaruhi oleh kenaikan kebutuhan pendanaan perusahaan dan tren penurunan suku bunga pinjaman.
Lalu, seri B senilai Rp 100 miliar mematok kupon 8,55% per tahun dan tenor lima tahun. Surat utang tersebut telah menggenggam pernyataan efektif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 29 September 2016. Masa penawaran dilakukan 3-4 Oktober 2016. PT Astra Sedaya Finance juga menerbitkan obligasi berkelanjutan III tahap II senilai Rp 1,7 triliun. Penerbitan dibagi dalam dua seri, yakni seri A senilai Rp 850 miliar dengan kupon 7,25% per tahun dan tenor satu tahun. Seri B diterbitkan senilai Rp 850 miliar dengan kupon 7,95% per tahun dan jangka waktu tiga tahun. Obligasi tersebut mulai ditawarkan pada 12-13 Oktober 2016.
Tercatat setidaknya dana obligasi korporasi sebesar Rp 2,90 triliun siap masuk pasar modal awal bulan Oktober ini. Obligasi tersebut berasal dari tiga emiten. Salah satunya, obligasi berkelanjutan III Mandiri Tunas Finance tahap I senilai Rp 500 miliar. Surat utang ini diterbitkan dalam dua seri. Seri A senilai Rp 400 miliar menawarkan kupon 8,2% per tahun dengan tenor tiga tahun.
PT Tiphone Mobile Indonesia juga ikut mencari utang dengan menerbitkan obligasi berkelanjutan I tahap II senilai Rp 700 miliar. Ada tiga seri obligasi. Seri A diterbitkan senilai Rp 205 miliar dengan kupon 9,25% per tahun dan tenor satu tahun. Seri B diterbitkan senilai Rp 256 miliar dengan kupon 9,5% per tahun dan tenor tiga tahun. Lalu, seri C senilai Rp 110 miliar dengan kupon 10,65% per tahun dan tenor lima tahun. Sisa dari jumlah pokok yang ditawarkan, yakni Rp 129 miliar, dijamin secara kesanggupan terbaik (best effort). Penawaran akan dimulai pada 11 Oktober 2016.
Curhat Pengusaha Batubara Butuh Kepastian Aturan Pajak | PT Rifan Financindo Berjangka
Masalah aturan perpajakan batubara yang tidak jelas dikhawatirkan memicu sikap keraguan investor. Apalagi, terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) 144/2000 yang menyatakan batubara tidak termasuk Barang Kena Pajak (BKP) ternyata tidak konsisten terhadap Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi III.
Lebih lanjut dia menjelaskan, pemahaman orang terhadap pertambangan secara teknis belum terlihat sama.Termasuk, para regulator sehingga memberikan penafsiran berbeda pada aturan. Apalagi, kebanyakan orang dan regulator masih melihat tambang hanya sebagai komoditas. ’’Itulah kenapa, sampai muncul PKP2B generasi I, II, danIII,’’ tuturnya.
Sebab, para pemegang PKP2B Generasi III justru masih dikenakan pungutan karena batubara dimasukkan dalam kategori BKP. Masalah yang dihadapi pengusaha batubara makin kompleks karena penyelesaian pengembalian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga berlarut. ’’Aturan harus diperbaiki karena memberikan ketidakpastian hukum,’’ ujar Ketua Perhapi (Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia) Tino Ardhyanto.
Fakta lain membingungkannya aturan perpajakan adalah saat pemegang PLP2B generasi III menggugat lewat Pengadilan Pajak. Ternyata, hasilnya bisa berbeda-beda. Ada yang dapat restitusi pajak, tetapi ada juga yang tidak dapat. ’’Itu tentu membingungkan bagi investor. Kalau tidak ada solusi, akan muncul masalah ketidakpastian,’’ jelasnya.
Menurutnya, itu aneh karena ada aturan yang berbeda tiap generasi. Padahal, barangnya hanya satu yakni batubara. Tino menambahkan, sumber daya dan produksi tambang batubara Indonesia sebenarnya bukan yang terbanyak di dunia. Tetapi, dalam hal ekspor batubara memang sangat luar biasa.
’’Ini yang menyebabkan aturan di sektor ini menjadi bermacam-macam. Perjanjian berganti-ganti disesuaikan dengan cara pandang regulator saat itu,’’ ucapnya. Hal seperti itu yang membuat Perhapi sempat bingung. Sebenarnya mau diapakan batubara Indonesia. Hanya sebagai komoditas, atau barang strategis untuk kemajuan bangsa.
Bagi Perhapi, kerpihakan pemerintah kepada industri batubara harus jelas. Masalah restitusi harus dicarikan jalan keluar yang komprehensif, menyeluruh, bukan case by case. ’’Saat ini industri pertambangan batubara sangat memprihatinkan. Harga batubara yang rendah membuat stripping ratio di lapangan naik-turun,’’ katanya.
Supaya cepat selesai, Perhapi berharap semuanya bisa duduk bareng. Sebab, tidak lagi hanya bisa diselesaikan dan dibicarakan di level Direktorat Jenderal Pajak. Tetapi juga level Menteri, kalau perlu Menko Perekonomian dan Menko Maritim. ’’Harus cepat diselesaikan, proyek 35 ribu MW sedang dikebut PLN. Pasokan batubara untuk PLTU-PLTU baru itu harus dipenuhi,’’ tegasnya. Apa saja potensi masalahnya? Tino menyebut seperti ketidakpastian hukum, mengganggu investasi, danberujung pada masalah pemenuhan kebutuhan batubara nasional dalam jangka panjang. Padahal, batubara menjadi sumber energi utama dalam mensukseskan proyek pembangkit 35 ribu MW.
Kalau tidak ada perubahan pada industri batubara, dan tetap ada yang didiskriminasi karena tidak mendapatkan restitusi PPN, dikhawatirkan tidak bisa lagi memproduksi batubara. Pengusaha, katanya ingin ada segera penyelesaian. ’’Jangan setiap ada perselisihan PPN, harus diselesaikan di Pengadilan Pajak lagi. Melelahkan kalau harus bolak-balik ke pengadilan,’’ tandasnya.