Terbaru

Asal Mula Kongres Bahasa Indonesia 1

Bulan Oktober dicanangkan sebagai bulan bahasa dan sastra | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Palembang

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Palembang


Dilandasi oleh semangat Sumpah Pemuda yang diperingati setiap tanggal 28 Oktober, kiranya kita perlu mengingat kembali salah satu peristiwa sejarah yang menjadi cikal bakal masa depan bahasa Indonesia.

Pada masa awal, sila ketiga dari Sumpah Pemuda, yakni menjunjung bahasa persatuan disebarluaskan sebagai satu bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia.

Terlalu banyak hiruk pikuk yang terjadi di bulan Oktober, mulai dari pilkada, pendemo penistaan agama, hingga kenaikan harga kebutuhan pokok. Ini berimplikasi pada kegiatan (tulisan) yang berkaitan peringatan Bulan Bahasa seakan sepi senyap. Padahal, bulan Oktober dicanangkan sebagai bulan bahasa dan sastra.

Dari sudut sosiologis, bahasa Indonesia boleh dianggap “lahir” atau diterima eksistensinya ketika Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda menjadi tonggak masyarakat Nusantara menerima dan melihat bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia, bukan bahasa lain. Pada masa ini bahasa Indonesia disadari jelas identitasnya sebagai bahasa yang berbeda dari bahasa Melayu.

Dalam Sumpah Pemuda: Makna & Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia, Keith Foulcher menyoroti adanya upaya politisasi dari naskah asli Sumpah Pemuda, utamanya pada sila ketiga. Peran M Yamin, salah satu founding fathers, yang ingin menerapkan adanya satu identitas, termasuk soal kebahasaan, disebut Foulcher saat kuat.

Uniknya, penggagas kongres bahasa bukan berasal dari kalangan akademikus atau profesor bahasa. Menurut Soemanang dalam suratnya kepada redaksi Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia pada 12 Oktober 1983, kongres bahasa digagas oleh wartawan Soeara Oemoem Surabaya, Raden Mas Soedardjo Tjokrosisworo (yang dikutip dari Kridalaksana, Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, 1991). Kala itu Soedardjo dikenal sebagai jurnalis yang kerap menciptakan istilah baru dan tidak puas dengan pemakaian bahasa dalam surat kabar Tiongkok.

Karena itu, mulailah timbul kesan bahwa bahasa Indonesia ketika itu cukup kacau, sehingga dibutuhkan “pegangan” dan pedoman bagi semua pemakai bahasa. Karena itu, konsep penyelenggaraan kongres bahasa pun digagas.

Memang setelah Sumpah Pemuda dikumandangkan, semangat menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai bidang, seperti pers, keagamaan, pendidikan, dan surat-menyurat semakin digelorakan. Akan tetapi, kemajuan bahasa sebagai media komunikasi dirasa tidak sebanding dengan usaha mengasuh bahasa Indonesia itu sendiri.

Dari sekadar gagasan, dibentuklah “pengoeroes komite” di Jakarta, yaitu Prof Dr Hoesein Djajadiningrat sebagai ketua kehormatan; Dr Poerbatjaraka sebagai ketua; Amir Sjarifoeddin sebagai wakil ketua; Soemanang, Armijn Pane, dan Katja Soengkana sebagai penulis; serta Soegiarti dan Santoso-Maria Ulfah sebagai bendahara.

Sambutan atas terselenggaranya Kongres Bahasa I ini cukup besar. Terbukti dari masifnya pemberitaan mengenai kegiatan ini serta banyaknya surat dan telegram yang masuk dari seluruh penjuru Tanah Air. Orang-orang yang dianggap sebagai tokoh pergerakan nasional bahkan bersedia hadir.

Akan tetapi, rupanya tak semua menyambut baik terselenggaranya kongres ini. Beberapa koran Belanda, misalnya, bersikap sangat skeptis tentang masa depan bahasa Indonesia. Ada pula yang menuding bahwa kongres itu tidak ilmiah. Padahal, para pembicara Kongres Bahasa I adalah sarjana-sarjana yang sudah diakui kiprahnya di dunia internasional, seperti Dr Poerbatjaraka.

Kongres Bahasa Indonesia I pun digelar di Solo pada 25-28 Juni 1938. Sejumlah tokoh dan cendekiawan terbaik yang dimiliki Indonesia dan punya perhatian pada bahasa tak ketinggalan ikut berpartisipasi. Sejumlah tokoh tampil sebagai pembicara dan menyumbangkan pemikiran tentang rencana dan masa depan bahasa Indonesia, di antaranya Ki Hadjar Dewantara, Sanoesi Pane, Amir Sjarifoeddin, Muh Yamin, St Takdir Alisjahbana, dan K St Pamoentjak.

Hal ini memperlihatkan bahwa masalah bahasa bukanlah masalah pengajaran dan pendidikan di sekolah semata. Mereka menganggap bahwa bahasa adalah masalah nasional, sehingga penting untuk dibicarakan bersama.

Penyelenggaraan Kongres Bahasa I membawa angin segar bagi perkembangan bahasa Indonesia ketika itu. Salah satunya seperti diungkapkan oleh Sanoesi Pane, “Bahasa Indonesia soedah sadar akan persatoeannja, boekan sadja dalam artian politik, akan tetapi dalam artian keboedajaan jang seloeas-loeasnja.”

Tak hanya itu, hasil-hasil yang dicapai dalam Kongres Bahasa I dipandang tetap relevan dan orisinal diterapkan hingga saat ini, seperti pengindonesiaan kata asing, penyusunan tata bahasa, pembaruan ejaan, pemakaian bahasa dalam pers, serta pemakaian bahasa dalam undang-undang. Pembahasan dalam Kongres Bahasa I ini juga menjadi cikal bakal terbentuknya Institut Bahasa Indonesia (sekarang Badan Bahasa) dan perguruan tinggi kesusastraan.

Sumpah Pemuda Dalam Konteks Kekinian | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Palembang

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Palembang


Sumpah Pemuda yang merupakan hasil keputusan dari Kongres Pemuda II di Batavia pada 27-28 Oktober 1928 untuk bertumpah darah satu, tanah Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesa; dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia, memang selalu dan selamanya relevan dengan konteks kekinian.

Sumpah Pemuda bukanlah sekadar tulisan pada prasasti di Langen Siswo, pondokan pelajar dan mahasiswa Jong Java, yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta Pusat.

Selain itu juga bagaimana orientasi pemuda Indonesia masa kini dalam menghadapi berbagai tantangan bangsa, bagaimana peran pemuda dalam era globalisasi yang makin kompetitif, dan kecintaan pemuda Indonesia kepada Tanah Air.

Para pemuda Indonesia harus melanjutkan cita-cita pemuda pendahulu sebagai sebuah kekuatan moral untuk tetap bersatunya dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masihkah pemuda memegang sumpahnya? Itulah pertanyaan besar dalam merefleksikan Peringatan Sumpah Pemuda yang tiap tahun diperingati pada 28 Oktober.

Namun untuk mereaktualisasikan nilai-nilai yanga terkandung dalam sumpah itu yang tampaknya perlu terus dipelihara secara baik.

Untuk mereaktualisasikan Sumpah Pemuda juga bukan hanya melalui kemeriahan berbagai kegiatan kirab pemuda, sarasehan, nusantara berdendang, atau pencerahan kebangsaan, melainkan seberapa dalam nilai-nilai yang terkandung dalam Sumpah Pemuda itu yang masih tertanam.

Adalah menarik yang disampaikan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrowi pada Pencerahan Kebangsaan dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-88 di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada 27 Oktober 2016 bahwa pemuda masa kini juga harus membuat sejarah untuk generasi yang akan datang.

Masih lekat dalam ingatan fenomena seorang siswa SMA Islam Dian Didaktika Kota Depok, Jawa Barat, Gloria Natapradja Hamel, yang dicoret namanya pada saat-saat terakhir menjelang pelaksanaan tugasnya sebagai anggota Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) tingkat Nasional untuk upacara memperingati Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan ke-71 RI di halaman Istana Merdeka, Jakarta, karena dianggap bukan warga negara Indonesia lantaran memiliki paspor berkebangsaan Prancis.

"Saya tidak pernah memilih kewarganegaraan Prancis karena darah dan nafas saya untuk Indonesia tercinta", begitu putri dari ibu yang berkewarganegaraan Indonesia dan ayah yang berkewarganegaraan Prancis.

Gloria a menulis surat bermeterai kepada Presiden Joko Widodo yang menegaskan dirinya mencintai Indonesia dan tetap memilih menjadi warga negara Indonesia.

Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, jelas disebutkan seseorang kehilangan status warga negara Indonesia apabila memiliki paspor negara lain karena Indonesia menganut prinsip kewarganegaraan tunggal.

Imam Nahrowi menjelaskan alasan Gloria akhirnya diizinkan bergabung kembali dalam Paskibraka adalah karena pernyataannya, sikapnya, sekaligus komitmennya bahwa tidak ada keraguan sedikitpun di dirinya dalam mencintai Tanah Air dan bangsa sehingga menjadi motivasi semua.

Gloria tetap datang ke Istana sebagai undangan pada 17 Agustus 2016, bahkan dia diterima oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Wisma Negara. Gloria akhirnya dimasukkan dalam Tim Bima pada Paskibraka itu untuk upacara penurunan bendera pada petang hari

Menteri Pemuda dan Olahraga juga kagum sebab Gloria tidak menyalahkan pihak mana pun, malah, berterima kasih karena pemerintah berlaku sesuai hukum.

Untuk itu, penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam Sumpah Pemuda menjadi upaya strategis juga dalam konteks kekinian.

Kasus Gloria tersebut membuat kita bersyukur atas komitmennya namun di luar dirinya, banyak juga kalangan pemuda yang memiliki orang tua yang berbeda warga negara, belum lagi para pemuda yang memiliki keterkaitan dengan Indonesia banyak yang tinggal di berbagai negara di jagad raya ini, mereka yang bekerja di luar negeri lalu memiliki keturunan di sana, kemudian kalangan pemuda asing yang ingin menjadi warga negara Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan, yang tergolong pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 sampai 30 tahun.

Pemuda mempunyai jumlah yang paling kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk yang berusia di bawah 16 tahun (sebanyak 76,68 juta jiwa) dan penduduk di atas 30 tahun (sebanyak 113,52 juta jiwa).

Pemuda di perkotaan sebanyak 25,92 persen sedangkan yang di perdesaan sebanyak 23,14 persen.

Pembangunan kepemudaan dilaksanakan dalam bentuk pelayanan kepemudaan. Pelayanan kepemudaan berfungsi melaksanakan penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan potensi kepemimpinan, kewirausahaan, serta kepeloporan pemuda dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Harus bisa dilaksanakan secara baik bahwa pelayanan kepemudaan diarahkan untuk menumbuhkan patriotisme, dinamika, budaya prestasi, dan semangat profesionalitas; dan meningkatkan partisipasi dan peran aktif pemuda dalam membangun dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Strategi pelayanan kepemudaan dilakukan dengan peningkatan kapasitas dan kompetensi pemuda, pendampingan pemuda, perluasan kesempatan memperoleh dan meningkatkan pendidikan serta keterampilan, dan penyiapan kader pemuda dalam menjalankan fungsi advokasi dan mediasi yang dibutuhkan lingkungannya.

Pemuda mempunyai jumlah yang paling kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk yang berusia di bawah 16 tahun (sebanyak 76,68 juta jiwa) dan penduduk di atas 30 tahun (sebanyak 113,52 juta jiwa).

Rasio jenis kelamin pemuda Indonesia pada 2014 yakni sebesar 101,38 yang berarti bahwa dari setiap 100 pemuda perempuan terdapat sekitar 101 pemuda laki-laki. Pemuda laki-laki lebih banyak dibandingkan pemuda perempuan.

Dalam perundang-undangan itu disebutkan bahwa pembangunan kepemudaan bertujuan untuk terwujudnya pemuda yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerd as, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggung jawab, berdaya saing, serta memiliki jiwa kepemimpinan, kewirausahaan, kepeloporan, dan kebangsaan berdasarkan Pancasila dan Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pelayanan kepemudaan dilaksanakan sesuai dengan karakteristik pemuda, yaitu memiliki semangat kejuangan, kesukarelaan, tanggung jawab, dan ksatria, serta memiliki sifat kritis, idealis, inovatif, progresif, dinamis, reformis, dan futuristik.

Pelayanan kepemudaaan juga bisa dilakukan melalui strategi bela negara, kompetisi dan apresiasi pemuda, peningkatan dan perluasan memperoleh peluang kerja sesuai potensi dan keahlian yang dimiliki, dan pemberian kesempatan yang sama untuk berekspresi, beraktivitas, dan berorganisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Alangkah bangganya menyaksikan setiap pemuda tampil gagah berani menunjukkan identitas dan prestasinya bagi kejayaan bangsa di kancah nasional dan internasional yang kian kompetitif ini.

Hari Sumpah Pemuda ke-88, Jangan Hilang Identitas di Era Global | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Palembang

PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Palembang


"Realitas saat ini, globalisasi semakin menguat dengan hadirnya teknologi. Orang semakin terkoneksi tapi identitas tidak semakin muncul," kata sosiolog UGM M Najib Azca saat berbincang, Kamis malam (27/10/2016).

Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-88. Dalam era digital ini, pemuda Indonesia mendapatkan tantangan untuk tetap tidak kehilangan identitasnya.

Najib menambahkan, identitas adalah hal yang penting dipunyai oleh pemuda. Sebab, globalisasi dalam satu sisi memiliki sifat menyeragamkan. Tanpa sadar atas identitas, maka identitas keindonesiaan akan hilang.

Lebih lanjut ia mencontohkan bagaimana para pemuda yang berkumpul di Jakarta pada tahun 1928 lalu merumuskan poin ketiga Sumpah Pemuda. Menurut Najib, para pendahulu menjadikan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu tanpa menyingkirkan bahasa lokal yang sudah lebih dahulu hidup.

"Tantangan pemuda di era digital ialah mengartikulasikan jati diri Indonesia yang terbuka dalam unsur global dan lokal. Globalisasi dari satu sisi menyeragamkan. Di sisi yang lain identitas kita yang lokal jangan sampai hilang karena itu bagian kekayaan kita," tutur Najib yang mendapat gelar doktor dari Universitas Amsterdam Belanda.

"Menurut saya, rumusannya sangat orisinal. Pendahulu kita itu sudah tepat dengan memposisikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengganti bahasa lokal. Tapi menjadikannya sebagai bahasa pemersatu. Bahasa lokal itu adalah identitas kita sebagai bangsa yang sangat majemuk. Sehingga digunakannya bahasa Indonesia bukan berarti bahasa lokal hilang. Seperti itulah bagaimana kita seharusnya mengaktualisasikan diri," ucap Najib.

Ia menambahkan, bahasa Indonesia juga terbuka kepada bahasa dari luar. Namun, bahasa Indonesia tetap memiliki unsur pokok yang menjadi identitas.

"Saya berharap di peringatan Hari Sumpah Pemuda ini, para pemuda Indonesia memiliki semangat kebangsaan terbuka dalam sikap percaya diri dan menerima dialog untuk berproses bersama. Di era digital ini tetap menjaga identitas ke-Indonesia-annya dalam pergaulan global," ucap Najib.

Najib berharap pemuda yang hidup di era digital ini tidak menjadi konsumen dengan mengikuti tren semata. Globalisasi yang membawa semangat kebangsaan terbuka dan menerima dialog untuk berproses bersama.