Pajak progresif tanah untuk pemerataan dan penciptaan keadilan sosial | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Pekanbaru
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menilai, rencana penerapan pajak progresif tanah nganggur merupakan salah satu instrumen pemerataan dan penciptaan keadilan sosial.
"(Sehingga) menjadi insentif orang untuk mengusahakan lahannya atau menjualnya," ujar Yustinus, Jakarta, Minggu (5/2/2017).
Hanya saja, implementasinya harus dipikirkan dengan matang. Termasuk opsi penerapan pajaknya secara tahunan (periodik) karena dinilai akan membuat kebijakan itu lebih efektif.
Saat ini, pemerintah mewacanakan dua opsi penerapan pajak tanah nganggur yakni melalui pajak atas keuntungan (Capital Gain Tax/CGT) dan Pajak Final Progresif (PFP). Keduanya merupakan Pajak Penghasilan (PPh).
Penghitungan PFP, misalnya tanah harga perolehan Rp 1 miliar, saat dijual mencapai Rp 5 miliar. Maka harga jual Rp 5 miliar lah yang akan dipajaki. Bila tarifnya PFP 5 persen, maka pajak yang harus dibayar Rp 250 juta.
Cara penghitungan CGT, misalnya tanah harga perolehan Rp 1 miliar, saat dijual mencapai Rp 5 miliar. Selisih Rp 4 miliar hasil penjualan itu lah yang dipajaki.
Bila tarifnya CGT 5 persen, maka pajak yang harus dibayar Rp 200 juta.
Menurut Yustinus, baik CGT maupun PFP sama-sama tidak ideal karena basisnya transaksi hasil jual tanah. Pajak itu hanya dikenakan hanya saat adanya transaksi jual beli tanah.
Maka, Pajak Bumi Bangunan (PBB) jadi pilihan yang paling ideal. Hanya saja, penerapan PBB pedesaan dan perkotaan berada dalam kewenangan pemeritah daerah (Pemda). Artinya perlu ada perubahan undang-undang dan koordinasi pengaturan supaya besaran tarifnya adil.
"Jangan sampai ada ketidakadilan baru pungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di daerah berbeda dan menciptakan celah untuk melakukan penghindaran pajak," kata Yustinus.
Sementera itu banyak cenderungan jual beli tanah justru menghindari nilai pasar. Oleh karena itu, penerapan pajak tanah nganggur justru dinilai akan lebih efektif bila dikenakan secara periodik.
Wacana Pajak Tanah Menganggur Picu Adu Mulut Para Pengembang | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Pekanbaru
PT Intiland Development Tbk. menilai rencana pemerintah untuk mengenakan pajak progresif akan membantu pengembang karena menyasar pada spekulan tanah yang kerap memainkan harga tanah.
"Terlihat bahwa pemerintah mengenakan pajak progresif kepada para spekulan. Kami pasti nomor satu mendukung pemerintah untuk hilangkan spekulan," ujar Sekretaris Perusahaan Intiland Theresia Rustandi kepada wartawan, Sabtu (5/2).
Rencana pemerintah mengenakan tarif pajak progresif terhadap tanah-tanah menganggur rupanya menimbulkan pro-kontra di mata para pengembang.
Sementara itu, Theresia meyakini, pemerintah tak akan mengenakan pajak progresif kepada tabungan tanah atau land bank milik pengembang. Sebab, pemerintah dinilai akan seobjektif mungkin mengenakan pajak pada tanah yang tak produktif sedangkan tanah yang produktif akan selamat dari pajak progresif.
"Ibarat industri manufaktur, tanah ini bahan baku pengembang yang kalau diolah akan memberi hasil bahkan menggerakkan roda ekonomi," imbuhnya.
Menurut Theresia, kebijakan tersebut akan ampuh memberantas aksi spekulasi tanah yang sangat menghambat kinerja pengembang. Pasalnya, banyak spekulan tanah yang memasang harga tinggi dan membuat akuisisi tanah yang dikerjakan pengembang molor berbulan-bulan hingga tahunan.
Adapun saat ini Intiland memiliki land bank sebanyak 2.037 hektare dengan 625 hektare tanah telah masuk tahap pengembangan. Sedangkan sisanya, 1.412 hektare masih dalam tahap konsolidasi pengembangan.
Seperti diketahui, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil melayangkan rencana pengenaan pajak progresif terhadap tanah menganggur untuk menekan keberadaan spekulan tanah dan mengubah kebiasaan investasi kepemilikan tanah yang dilakukan masyarakat.
Sofyan memastikan, dirinya akan berdiskusi lebih jauh dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk meracik formula tersebut.
Namun, rencana ini belum dilengkapi dengan formula pasti mengenai definisi tanah menganggur, jenis tarif yang dikenakan, besaran tarif, dan mekanisme lainnya.
"Jangan sampai kebijakan ini istilahnya membunuh angsa bertelur emas. Jangan sampai terjadi distorsi investasi," ujarnya.
Sementara terkait pengenaan pajak progresif terhadap pengembang, Sofyan menyebutkan bahwa pemerintah masih mengkaji hal tersebut.
Sementara itu, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) justru menilai bahwa pemerintah patut memukul rata pengenaan pajak progresif tanah kepada land bank milik pengembang.
Menurutnya, land bank milik pengembang besar turut memberi andil pada kenaikan harga tanah. Sementara, harga tanah yang tinggi tak bersahabat untuk pembangunan perumahan sederhana dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
"Ada banyak tanah yang dimiliki pengembang besar sengaja disimpan, mereka tak langsung mengeksekusi sehingga harga melonjak. Ini mengganggu sehingga saya sepakat untuk pajak progresif," kata Ketua Apersi Eddy Ganefo.
Akibatnya, perumahan sederhana dan MBR harus terpinggirkan dari kota-kota besar karena tingginya harga tanah di kota yang juga dikuasai oleh pengembang besar, namun tak kunjung dibangun.
Sehingga dengan pengenaan pajak progresif tanah, diharapkan pengembang besar dapat melakukan pembangunan lebih cepat dan menciptakan iklim pembangunan perumahan yang lebih kondusif.
Belum lagi, imbasnya terhadap pengembang perumahan sederhana dan MBR, harga tanah yang tinggi membuat negosiasi pembelian lahan menjadi lambat dan melambankan gerak pembangunan rumah bersubsidi yang dibutuhkan masyarakat.
Giliran Tanah Nganggur Bakal Kena Pajak Progresif | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Pekanbaru
Pemerintah mengkaji mengenakan pajak progresif untuk tanah nganggur. Tujuan dikenakan pajak progresif untuk menekan spekulasi atas harga tanah.
Terdapat beberapa alasan awal dari penerapan kebijakan ini. Salah satunya adalah karena banyaknya masyarakat yang membiarkan lahan kosong sebagai sarana investasi.
"Tujuannya untuk membuat harga tanah menjadi wajar dan tidak dispekulasikan," jelas Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofjan Djalil.
"Orang dapat keuntungan tanpa lakukan apapun. Itu tidak boleh karena orang buat keuntungan harusnya dari nilai tambah," tutur Sofyan.
"Kemenkeu juga akan mengajukan revisi Undang-Undang Perpajakan," ucap dia.
Aturan soal pajak progresif tanah ini dikatakan Sofyan akan segara diajukan kepada DPR di Februari 2017.
Sekarang ini, hal ini memang masih wacana. Pihaknya juga masih akan terus mematangkannya, bersamaan dengan kementerian terkait, termasuk Kementerian Keuangan.
Sementara itu, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden RI Sofjan Wanandi mengatakan, pembahasan beleid ini masih berada di internal pemerintah. Tujuannya antara lain menghentikan ulah spekulan yang membuat harga tanah selangit.
"Enggak-enggak, menyeluruh kena se-Indonesia, tidak ada kawasan-kawasan tertentu apa. Nanti aturannya jelas," imbuh dia.
Dia mengatakan, pemerintah bakal membuat kategori tanah yang dimanfaatkan untuk pembangunan dan tanah yang benar-benar menganggur. Dia menegaskan, pemerintah tidak akan asal dalam menerapkan aturan pajak progresif ini. Nantinya aturan akan berlaku di seluruh Indonesia.
Tak asal menentukan tanah menganggur, pemerintah juga akan menyortir tanah-tanah millik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tidak produktif. Jika memang alasannya jelas, pemerintah tidak akan mengenakan pajak progresif untuk aset pelat merah itu.
Salah satu perusahaan BUMN pun ikut bicara. Direktur Keuangan dan SDM Perumnas Hakiki Sudrajat mengatakan, Perumnas memiliki 1.800 hektare (ha) tanah tak terpakai, dengan demikian dalam setahun ada 300 ha tanah yang belum terpakai.
"Tapi relatif ya (progresif tanah nganggur), enggak selalu harga tanah, bisa lokasi, supply and demand juga," tukasnya.
Selain itu, Hakiki mengatakan pengenaan pajak progresif pada lahan tidak produktif tidak serta merta dapat menaikan harga bangunan nantinya. Misalnya rumah, banyak faktor yang memicu harga, di antaranya tanah.
Tanah nganggur itu pun paling banyak terletak di wilayah Jabodetabek, Jawa Timur di wilayah Gresik, Sumatera Utara, Palembang, dan Makasar