Terbaru

Google berani tak taat pajak karena warga Indonesia butuh

Google berani menawar pajak dengan nominal cukup rendah | PT Rifan Financindo Berjangka

PT Rifan Financindo Berjangka


"Google sangat percaya diri karena layanannya seolah menjadi kebutuhan primer masyarakat, tidak hanya di sini, tapi di seluruh dunia. Sehingga mereka berani menawar pembayaran pajak dengan nominal cukup rendah," kata pakar keamanan siber Pratama Persadha 

Langkah Google yang masih belum kooperatif masalah pembayaran pajak membuat pemerintah lewat Ditjen Pajak menutup opsi negosiasi. Bahkan Ditjen Pajak sudah menetapkan Januari 2017 Google akan terkena bunga 150% dari pajak tertunggak.

Menurut data dari Forbes, Google berada di peringkat dua sebagai perusahaan paling bernilai tahun 2016 dengan nilai merek mencapai 82,5 miliar dolar dan jumlah pendapatan mencapai 68,5 miliar dolar. Peringkat pertama masih diduduki oleh Apple.

Di banyak negara, terutama eropa, Google juga dihadapkan pada masalah pajak yang serupa. Pemerintah Italia dan Inggris juga mengupayakan pembayaran pajak yang pantas. Google banyak meraih untung dari iklan dan trafik internet yang tinggi, sehingga ikut menaikkan nilai perusahaan.

Kemenkominfo lewat Menteri Rudiantara sendiri masih menunggu perkembangan dan menyatakan belum memungkinkan untuk melakukan blokir. Menurutnya blokir terhadap Google adalah langkah terakhir, karena ada kepentingan umum yang sementara ini didahulukan pemerintah.

"Layanan Google yang paling banyak dipakai masyarakat tanah air adalah Gmail, Youtube, Blogger, Chrome, Adsense dan tentu saja Google Play pada android. Tentu pemblokiran nantinya akan membuat masyarakat tidak bisa mengakses layanan tersebut. Bila nanti langkah blokir terpaksa harus dilakukan, harus ada sosialisasi yang jelas dari pemerintah, untuk menghindari gesekan sosial nantinya," terang Chairman lembaga riset keamanan cyber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini.

Ditambahkan Pratama opsi pemblokiran sebagai jalan terakhir jelas tetap terbuka, apalagi bila Google tidak ada itikad baik bekerja sama. Sampai saat ini Google masih enggan memberikan data pendapatannya ke Ditjen Pajak.

Pratama menambahkan membangun layanan internet lokal sebenarnya tidak serumit seperti membangun industri lainnya. Yang paling penting menurutnya adalah keberpihakan pemerintah dalam hal dukungan regulasi dan modal. Sehingga masyarakat secara bertahap bisa mengurangi ketergantunan akan layanan asing sepetti Google.

“Dengan masalah pajak Google dan juga raksasa lain seperti Facebook, tentu pemerintah sudah tahu apa langkah strategis ke depan. Salah satunya adalah membangun layanan internet buatan lokal. Ada email, media sosial, layanan video, instant messaging, cloud dan maish banyak lagi,” tambah mantan pejabat Lembaga Sandi Negara ini.

"Kita bisa meniru langkah RRC yang memblokir. Namun juga harus melihat, keberanian tersebut dilakukan karena RRC sudah menyiapkan layanan serupa seperti Weibo, QQ dan Baidu. Indonesia jelas bisa, apalagi dipantik dengan sentimen nasionalisme dan dukungan layanan yang ramah pemakai lokal, saya yakin berhasil," terangnya.

Ketergantungan Masyarakat Tinggi, Google Berani Tawar Pajak | PT Rifan Financindo Berjangka

PT Rifan Financindo Berjangka


Pihak Google berani menawar pembayaran pajak dengan nominal cukup rendah karena tingkat ketergantungan masyarakat nisbi tinggi terhadap perusahaan multinasional Amerika Serikat yang khusus pada jasa dan produk internet itu, kata pakar keamanan siber Pratama Persadha.

Ia menyebutkan layanan Google yang paling banyak dipakai masyarakat di Tanah Air, yakni Gmail, Youtube, Blogger, Chrome, Adsense, dan Google Play pada android.

"Google sangat percaya diri karena layanannya seolah menjadi kebutuhan primer masyarakat. Tidak hanya di sini, tetapi di seluruh dunia," katanya melalui surat elektroniknya di Semarang, Senin (26/12) malam.

Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) mengemukakan hal itu sehubungan dengan langkah Google yang masih belum kooperatif masalah pembayaran pajak.

Pernyataannya itu juga terkait dengan sikap Kemenkominfo yang masih menunggu perkembangan dan menyatakan belum memungkinkan untuk melakukan blokir.

Hal itu, lanjut Pratama, membuat pemerintah lewat Ditjen Pajak menutup opsi negosiasi. Bahkan, Ditjen Pajak sudah menetapkan pada bulan Januari 2017 Google akan terkena bunga 150 persen dari pajak tertunggak.

Menurut Menteri Rudiantara bahwa blokir terhadap Google adalah langkah terakhir karena ada kepentingan umum yang sementara ini pemerintah mendahulukannya.

"Tentu pemblokiran nantinya akan membuat masyarakat tidak bisa mengakses layanan tersebut. Bila nanti langkah blokir terpaksa harus dilakukan, harus ada sosialisasi yang jelas dari pemerintah, untuk menghindari gesekan sosial nantinya," tutur Pratama. 

Opsi pemblokiran sebagai jalan terakhir, menurut dia, jelas tetap terbuka, apalagi bila Google tidak ada iktikad baik bekerja sama. Sampai saat ini, Google masih enggan memberikan data pendapatannya ke Ditjen Pajak.

Lebih lanjut, Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi atau Communication and Information System Security Research Centre (CISSReC) itu mengatakan kemungkinan blokir memang terbuka. Namun, dirinya yakin pemerintah berhitung dengan akibat yang akan ditimbulkan nantinya.

Google Masih Menunggak Pembayaran Pajak Di Indonesia | PT Rifan Financindo Berjangka

PT Rifan Financindo Berjangka


Google Masih Menunggak Pembayaran Pajak Di Indonesia. Langkah Google masih belum kooperatif sehubungan dengan masalah pembayaran pajak membuat pemerintah melalui Ditjen Pajak menutup opsi negosiasi. Bahkan Ditjen Pajak telah menetapkan pada Januari 2017 Google akan terkena bunga 150% dari pajak yang tertunggak. Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui Menteri Rudiantara sendiri masih menunggu perkembangan serta menyatakan belum memungkinkan untuk melakukan pemblokiran. Menurutnya, blokir terhadap Google adalah langkah yang terakhir. Pasalnya, masih ada kepentingan umum yang didahulukan oleh pemerintah.

Ditambahkan olehnya opsi pemblokiran adalah sebagai jalan terakhir jelas tetap terbuka, apalagi jika Google tidak ada iktikad baik dalam bekerja sama. Hingga saat ini Google masih enggan memberikan data pendapatannya pada Ditjen Pajak. “Layanan Google yang paling banyak dipakai masyarakat di Indonesia adalah Gmail, YouTube, Blogger, Chrome, AdSense serta tentu saja Play Store pada Android. Tentu pemblokiran nantinya akan membuat masyarakat tak bisa mengakses layanan itu,” Ungkapnya.

Pada lain kesempatan, praktisi keamanan cyber, Pratama Persadha, menjelaskan kemungkinan untuk blokir memang terbuka. Akan tetapi dirinya yakin, pemerintah masih berhitung dengan akibat yang ditimbulkan nantinya. “Google sangat percaya diri karena layanannya seolah menjadi kebutuhan primer masyarakat, tidak hanya di sini, tapi di seluruh dunia. Sehingga mereka berani menawar pembayaran pajak dengan nominal cukup rendah,” jelas Pratama Persadha. 

Menurut data dari Forbes, Google berada pada peringkat 2 sebagai perusahaan paling bernilai di tahun 2016 dengan nilai merek mencapai USD 82,5 miliar serta jumlah pendapatan mencapai USD 68,5 miliar. Peringkat pertama masih diduduki Apple. Jelas mantan pejabat Lembaga Sandi Negara ini: “Dengan masalah pajak Google dan juga raksasa lain seperti Facebook, tentu pemerintah sudah tahu apa langkah strategis kedepan. Salah satunya adalah membangun layanan internet buatan lokal. Ada email, media sosial, layanan video, instant messaging, cloud dan masih banyak lagi,”.

Pratama yang juga chairman lembaga riset keamanan cyber CISSReC mengatakan “Bila nanti langkah blokir terpaksa harus dilakukan, harus ada sosialisasi yang jelas dari pemerintah, untuk menghindari gesekan sosial nantinya,”. Pada banyak negara, terutama Eropa, Google juga telah dihadapkan pada masalah pajak yang sama. Pemerintah Italia serta Inggris juga mengupayakan pembayaran pajak yang cukup pantas. Google banyak meraih untung dari iklan serta trafik internet yang tinggi, sehingga ikut menaikkan nilai perusahaan Google.

Pratama juga berharap, dengan keadaan masyarakat Indonesia yang nantinya banyak yang menggunakan aplikasi layanan lokal, pemerintah bisa bertindak tegas kepada pelanggaran pajak serupa Google saat ini. 

Pratama juga menambahkan, membangun layanan internet lokal sebenarnya tak serumit seperti membangun industri lain. Yang paling penting menurutnya yakni keberpihakan pemerintah dalam hal dukungan regulasi serta modal. Sehingga masyarakat secara bertahap sanggup mengurangi ketergantunan akan layanan asing seperti Google. Pratama menerangkan: “Kita bisa meniru langkah China yang memblokir. Namun juga harus melihat, keberanian tersebut dilakukan karena China sudah menyiapkan layanan serupa seperti Weibo, QQ dan Baidu. Indonesia jelas bisa, apalagi dipantik dengan sentimen nasionalisme dan dukungan layanan yang ramah pemakai lokal, saya yakin berhasil,”.